SUBHANALLAH... SUBHANALLAH... SUBHANALLAH! Dzikir yang dianjurkan ketika berada di jalan menurun itu semakin banyak dan kencang saya lafazkan. Turunannya curam amat dan ga habis-habis ya Allah๐ (saya mulai panik). Yang bikin tambah parno adalah kata-kata Ulfa sebelum berangkat tadi, "Ini remnya ga terlalu pakem lho". OH NOOO!
***
Traveling di kala pandemi corona gini, emang boleh? Boleh aja menurut saya; ASALKAN... Yang pertama dan utama, minta perlindungan dan keselamatan ke Allah (jadi sebelum pergi tuh doa dulu yang banyak ke Allah). Terus bekali diri dengan masker, hand sanitizer, tissue basah, alat perlindungan diri yang lengkap deh. Kemudian yang ga kalah penting, pilih tempat yang memang buka (mulai tanggal 6 Juni beberapa tempat wisata di Lampung sudah mulai dibuka untuk umum guna menyambut era kewarasan baru eh new normal).
Hampir 2 bulan di rumah (belum bisa balik ke Malang karena Covid-19), keknya butuh keluar sebentar memanjakan mata; biar ga lupa kalo Allah ciptakan tempat-tempat indah di bumi Indonesia (Lampung, khususnya). Saya memutuskan untuk pergi ke Pantai Gigi Hiu yang ada di Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus. Udah dari 2 tahunan yang lalu pengen kesini, tapi masih bingung untuk eksekusi karena kok kayaknya "susah". Baca di banyak artikel blog, Gigi Hiu adalah pantai untuk kamu yang berjiwa petualang dan ga cengeng. Ga semua orang bisa mendatangi tempat ini (kecuali nenek-nenek nekattt). Apa iya? Mari kita buktikan.
Minggu pagi (7 Juni 2020) - Saya dan Ulfa berangkat dari rumah sekitar jam setengah 6 pagi. Bekal yang udah disiapkan mamak (bahkan dari kemarin) siap mensponsori makan kami hari ini. Walau di tengah wabah Corona, saya tetap memutuskan untuk berangkat pagi karena saat itu hari minggu, ada kemungkinan akan ramai didatangi orang-orang (apalagi selama masa pandemi, Pantai Gigi Hiu tetap buka). Tujuan pertama kami ke kampus Darul Fattah di Gang Kopi Gedung Meneng untuk ketemuan dengan Nafisah dan Siska. Setelah berkumpul, lanjut menuju daerah gubernuran menjemput satu anggota rombongan lagi, Mbak Putri. Ketiganya adalah teman Ulfa (yey aku gapunya temen ๐ญ).
Sekitar jam 7 pagi, fix kami berangkat dari Bandarlampung. Ulfa membonceng Mbak Putri; Siska dengan Nafisah dan saya dengan bayangan saya sendiri, lupakan -_- Ada beberapa jalur menuju Pantai Gigi Hiu di Kelumbayan Tanggamus. Bisa rute Kiluan atau lewat Padangcermin. Kami lewat Padangcermin. Keduanya sama aja sih; Yang satu tidak lebih baik dari yang lain.
Jalanan yang kami lewati bervariasi treknya; mulai dari aspal halus mulus sampai dengan jalan berbatu yang bikin seluruh badan tergoncang. Masuk Kabupaten Tanggamus, jalanan mulai meliuk didominasi tanjakan dan turunan. Hutan dan perbukitan hijau menemani perjalanan kami. Menyejukkan mata ๐
Beberapa hari menjelang pergi, Ulfa sempat "berisik" ngomongin soal jalan turunan yang katanya ekstrem banget. Saya sih biasa aja; bukan mau sombong, tapi saya ga terbiasa membuat diri khawatir dengan sesuatu yang belum benar-benar saya hadapi. Qadarullah pas ngalamin langsung ternyata... Huwahaha! ๐ต๐ต๐ต Baru kali itu secemas itu (!) Mulut saya komat-kamit melafazkan zikir Subhanallah. Jalanan yang menurun tajam ditambah rem yang ga terlalu pakem adalah perpaduan yang sempurna untuk membuat saya panik. Boro-boro memperhatikan anggota rombongan yang lain. Udah khusyu sendiri merhatiin jalan.
Menjelang berakhirnya turunan maut itu, rem Siska sempat blong. Wadueh gimana ini? Rencananya setelah sampai di bawah, nyari bengkel terdekat untuk memperbaiki. Qadarullah sebelum nemu bengkel, remnya udah berfungsi lagi. Alhamdulillah.
Setelah melalui jalanan yang naik turun, hutan sepi, perbukitan, akhirnya ketemu pinggiran laut juga (timbullah harapan bahwa tempat yang kami tuju tidak jauh lagi). Kami kira ini adalah akhir dari penderitaan, siapa sangka ternyata gerbang awal dari penderitaan yang lain wkwkwk! Ngaso dulu sambil ngelurusin kaki; sambil foto-foto dong pastinya. Keindahan pantai pinggir jalan ini terlalu sayang untuk dilewatkan. MasyaAllah.
Di perjalanan aja udah indah; Tapi walaupun begitu indah dan menarik hati untuk disinggahi, kami tetap harus beranjak pergi karena kami tahu dan sadar itu bukan tujuan kami. Sama aja kayak hidup; Kalo akhirat (surganya Allah) yang jadi tujuan, (seharusnya) ga terlena dengan dunia yang cuma tempat singgah sementara, dan ga lebih berharga dari sayap nyamuk ini... Uhuk! Kesambet apa?
Kalo lihat Maps sih kata Mbak Putri tinggal beberapa kilo lagi jarak kami ke Gigi Hiu. Yeay! Semangat lagi melanjutkan perjalanan. Katanya treknya susah, mana? *belumNyadar. Setelah dari pantai tempat kami berhenti foto-foto itu, treknya mulai berbatu. Batunya lumayan cadas nih, siap merobek ban-ban yang tipis. Sedang konsentrasi penuh melewati jalanan berbatu, tiba-tiba Siska menghentikan motornya di tengah hutan sepi. Eh, kenapa kenapa?
"Ntar brenti dulu. Abang-abang yang naik motor itu bawa golok", kata Siska sedikit panik.
Lah, namanya aja di pelosok, di kebon. Wajarlah orang bawa golok (bisa jadi untuk mencari rumput dan sebagainya). Yang ga wajar tuh kalo bawa kamu ke KUA, eaaa -_- Setelah itu lanjut lagi menikmati bebatuan. Sesekali Ulfa dan Nafis turun dari boncengan motor karena medan yang dilalui cukup sulit dan mengerikan.
Semakin dekat ke tujuan, semakin sulit trek yang harus kami lewati. Ada satu mobil di belakang kami. Wah keren nih mobil, abis dari sini siap-siap diservis total huhu. Ga recommended banget bawa mobil ke sini (kecuali jeep hardtop). Jalanannya siap ngebuat yang ngelewatinnya istighfar. Mau balik lagi kok nanggung; Tapi kalo diterusin bikin klenger ๐ต๐ต๐ต kudu piye??? Sanggupkah? Jalur menuju Pantai Gigi Hiu buat saya adalah campuran antara jalur: Ke Bromo via Tumpang dan Nongkojajar; Jalan pegunungan berbatu menuju Desa Mantar di Sumbawa Barat; Jalur menuju Angel Bilabong di Nusa Penida; Pokonya yang ga enak-enak nyampur semua dah jadi satu (bahkan sehari kemudian telapak tangan saya masih terasa kebas dan getir gara-gara nahan rem). Sulit dijelaskan dengan kata-kata. Kamu harus datang sendiri kesini untuk membuktikannya (dan merasakan penderitaan yang sama uwuw).
Setelah episode perjalanan yang bikin termehek-mehek itu sampai juga kami di Pantai Gigi Hiu. Akhirnya. Total perjalanan dari rumah tadi sampai di sini kira-kira 4 jam. Seorang bapak menyambut kami (untuk memintai uang masuk pastinya). Kami membayar 10K per orang.
Baca juga: Perjalanan Ga Disangka menuju Desa Mantar di Sumbawa Barat
"Abangnya mana Mbak?", tanya bapak penjaga yang keheranan melihat rombongan kami tanpa seorang cowok pun. Pertanyaan yang sering banget terlontar kalo lagi main.
"Masih disimpen Pak" (sama Allah di lauhul mahfudz). Enteng saja saya jawab.
Bukan mau sombong, hey kami cewek-cewek super, bisa melakukan segalanya tanpa pria. No no, ga seperti itu. Tapi sementara kami ingin main, dan Allah masih belum pertemukan dengan 'teman main separuh agama' itu, yaudah main aja dulu sama saudara di jalan Allah atau sisterfillah *eaaak.
Begitu sampai di pantainya, mencoba untuk meluruskan otot-otot dan persendian yang sempat tegang tadi. Sebentar saja sudah hilang lelahnya melihat pemandangan indah di depan sana, masya Allah tabarakallah. Sebelum mulai eksplor, isi tenaga dulu dengan bekal nasi lauk semur daging dan sayur kates (baca: pepaya muda); dengan buah pencuci mulut pepaya jeruk nipis *segernyaaa.
Saya tertinggal di belakang. Selain untuk mengambil foto artis-artis di depan, juga karena ngos-ngosan ga kuat. Fiuh, gini amat badan ga pernah diajakin olahraga. Beberapa menit berjalan menyusuri pinggiran pantai, sampai juga kami di spot Gigi Hiu. Orang setempat lebih mengenal pantai ini dengan sebutan Batu Layar. Masya Allah. Finally, we are here; Tempat yang viral beberapa tahun belakangan, berseliweran di akun-akun IG pariwisata Lampung. Tapi kok... *sedih๐ข
Pantai Gigi Hiu adalah objek fotografi yang super keren. Tiap sudutnya indah untuk diabadikan. Coba deh datang saat sunrise maupun sunset, dijamin kamu bakal ternganga sama hasil foto yang didapetin (kalo cerah lho ya). Tempat ini merupakan surga bagi penghobi fotografi.
Saat akan menyalakan motor, tiba-tiba jantung saya serasa mau copot, deg! Starternya Mati. Gak bisa dinyalakan sama sekali. Dicoba beberapa kali tidak membuahkan hasil. Coba deh dinyalakan manual. Agak kesulitan karena kontur tanahnya berpasir. Ada beberapa remaja yang sedang duduk-duduk istirahat; baru datang. Mereka peka kemudian membantu kami. Yeay, motornya nyala kembali. Huhu terima kasih ya Allah.
Alhamdulillah, perjalanan pulang kami lalui dengan baik-baik saja. Masih dengan perjuangan yang sama; melewati jalanan tanah serta berbatu, licin, rawan selip dan tersungkur. Namun kali ini sudah lebih 'lihai', belajar dari pengalaman pas pergi tadi. Langit menunjukkan tanda-tanda akan hujan. "Plis ya Allah jangan ujan dulu pas lagi di sini", berdoa dalam hati. Alhamdulillah hujan turun pas udah sampe di desa terakhir sebelum jalanan yang parah. Kami berteduh di depan puskesmas (atau apa ya lupa).
Baca juga: Pertama kali ke Bromo Naik Motor
Saya yakin hari itu banyak sekali kebaikan yang Allah berikan dalam perjalanan kami; Contohnya: Rem Siska yang blong kemudian benar kembali. Motor saya yang gabisa distarter, kemudian tau-tau hidup lagi sebelum sempat dibawa ke bengkel. Ban kami tidak ada yang kempes atau bocor (bener-bener ga kebayang kalo bannya bocor di tengah hutan gitu ya Allah...๐ญ๐ญ๐ญ). Saat perjalanan pulang, Allah menghindarkan kami dari kehujanan derasss. Pas hujan turun dengan derasnya, kami sedang berteduh di mushola pinggir jalan untuk menjamak shalat, kemudian saat makan bakso. Jadi cuma 'ketumpahan' gerimis-gerimis manja aja (ga sampai basah kuyup). Dan banyak kebaikan lainnya yang ga kejangkau sama hati dan pikiran kami; sehingga kami pulang selamat sampai rumah masing-masing tanpa kurang suatu apa (eh ada kurangnya sih, kurang main kemana lagi yaaa? Eaaa). Pergi saat gelap, pulang pas udah gelap. Jam setengah 7 malam sebelum Isya, kami sudah berada di rumah masing-masing. Alhamdulillahiladzi bi ni'matihi tathimushalihaaat.
***
Traveling berarti meluaskan tempat untuk mengingat-Nya. Biarlah bumi Allah yang pernah kita pijak menjadi saksi kita pernah melantunkan dzikir masyaAllah karena takjub akan keindahan alam ciptaan-Nya; Biarlah bumi Allah yang pernah kita lewati menjadi saksi kita pernah melantunkan dzikir Allahu Akbar dan Subhanallah ketika melewati jalanan menanjak dan menurunnya; Biarlah bumi Allah yang pernah kita datangi menjadi saksi kita pernah merasa begitu kecil tidak ada apa-apanya dibanding Ia dengan segala kehebatan-Nya mencipta langit bumi dan seluruh isinya... Allahu 'alam.
Turunan 'maut' |
Menjelang berakhirnya turunan maut itu, rem Siska sempat blong. Wadueh gimana ini? Rencananya setelah sampai di bawah, nyari bengkel terdekat untuk memperbaiki. Qadarullah sebelum nemu bengkel, remnya udah berfungsi lagi. Alhamdulillah.
Jalanan mulus terakhir sebelum ketemu trek tanah dan bebatuan |
Setelah melalui jalanan yang naik turun, hutan sepi, perbukitan, akhirnya ketemu pinggiran laut juga (timbullah harapan bahwa tempat yang kami tuju tidak jauh lagi). Kami kira ini adalah akhir dari penderitaan, siapa sangka ternyata gerbang awal dari penderitaan yang lain wkwkwk! Ngaso dulu sambil ngelurusin kaki; sambil foto-foto dong pastinya. Keindahan pantai pinggir jalan ini terlalu sayang untuk dilewatkan. MasyaAllah.
Di perjalanan aja udah indah; Tapi walaupun begitu indah dan menarik hati untuk disinggahi, kami tetap harus beranjak pergi karena kami tahu dan sadar itu bukan tujuan kami. Sama aja kayak hidup; Kalo akhirat (surganya Allah) yang jadi tujuan, (seharusnya) ga terlena dengan dunia yang cuma tempat singgah sementara, dan ga lebih berharga dari sayap nyamuk ini... Uhuk! Kesambet apa?
Kalo lihat Maps sih kata Mbak Putri tinggal beberapa kilo lagi jarak kami ke Gigi Hiu. Yeay! Semangat lagi melanjutkan perjalanan. Katanya treknya susah, mana? *belumNyadar. Setelah dari pantai tempat kami berhenti foto-foto itu, treknya mulai berbatu. Batunya lumayan cadas nih, siap merobek ban-ban yang tipis. Sedang konsentrasi penuh melewati jalanan berbatu, tiba-tiba Siska menghentikan motornya di tengah hutan sepi. Eh, kenapa kenapa?
"Ntar brenti dulu. Abang-abang yang naik motor itu bawa golok", kata Siska sedikit panik.
Lah, namanya aja di pelosok, di kebon. Wajarlah orang bawa golok (bisa jadi untuk mencari rumput dan sebagainya). Yang ga wajar tuh kalo bawa kamu ke KUA, eaaa -_- Setelah itu lanjut lagi menikmati bebatuan. Sesekali Ulfa dan Nafis turun dari boncengan motor karena medan yang dilalui cukup sulit dan mengerikan.
Semakin dekat ke tujuan, semakin sulit trek yang harus kami lewati. Ada satu mobil di belakang kami. Wah keren nih mobil, abis dari sini siap-siap diservis total huhu. Ga recommended banget bawa mobil ke sini (kecuali jeep hardtop). Jalanannya siap ngebuat yang ngelewatinnya istighfar. Mau balik lagi kok nanggung; Tapi kalo diterusin bikin klenger ๐ต๐ต๐ต kudu piye??? Sanggupkah? Jalur menuju Pantai Gigi Hiu buat saya adalah campuran antara jalur: Ke Bromo via Tumpang dan Nongkojajar; Jalan pegunungan berbatu menuju Desa Mantar di Sumbawa Barat; Jalur menuju Angel Bilabong di Nusa Penida; Pokonya yang ga enak-enak nyampur semua dah jadi satu (bahkan sehari kemudian telapak tangan saya masih terasa kebas dan getir gara-gara nahan rem). Sulit dijelaskan dengan kata-kata. Kamu harus datang sendiri kesini untuk membuktikannya (dan merasakan penderitaan yang sama uwuw).
Setelah episode perjalanan yang bikin termehek-mehek itu sampai juga kami di Pantai Gigi Hiu. Akhirnya. Total perjalanan dari rumah tadi sampai di sini kira-kira 4 jam. Seorang bapak menyambut kami (untuk memintai uang masuk pastinya). Kami membayar 10K per orang.
Baca juga: Perjalanan Ga Disangka menuju Desa Mantar di Sumbawa Barat
Bahagia banget nemu plang merah di atas |
"Abangnya mana Mbak?", tanya bapak penjaga yang keheranan melihat rombongan kami tanpa seorang cowok pun. Pertanyaan yang sering banget terlontar kalo lagi main.
"Masih disimpen Pak" (sama Allah di lauhul mahfudz). Enteng saja saya jawab.
Bukan mau sombong, hey kami cewek-cewek super, bisa melakukan segalanya tanpa pria. No no, ga seperti itu. Tapi sementara kami ingin main, dan Allah masih belum pertemukan dengan 'teman main separuh agama' itu, yaudah main aja dulu sama saudara di jalan Allah atau sisterfillah *eaaak.
Begitu sampai di pantainya, mencoba untuk meluruskan otot-otot dan persendian yang sempat tegang tadi. Sebentar saja sudah hilang lelahnya melihat pemandangan indah di depan sana, masya Allah tabarakallah. Sebelum mulai eksplor, isi tenaga dulu dengan bekal nasi lauk semur daging dan sayur kates (baca: pepaya muda); dengan buah pencuci mulut pepaya jeruk nipis *segernyaaa.
Selesai makan, kami langsung mengemasi bawaan kemudian berjalan menuju spot deretan bebatuan karang runcing; tempat dimana asal penyebutan Gigi Hiu itu berasal. Saat menyusuri pinggiran pantai harus hati-hati melangkah karena cukup licin. Bebatuan di pinggiran pantai yang kami lewati menuju spot Gigi Hiu ini besar-besar; "Jo bawa pulang buat mamak, untuk ulekan". Yakali bawanya gimana -_- Kalo setiap orang yang datang punya pikiran kayak Ulfa begitu, dijamin lama-lama pantai itu gada batu-batuannya lagi *tepokjidat #SaveBatuUlekan
Saya tertinggal di belakang. Selain untuk mengambil foto artis-artis di depan, juga karena ngos-ngosan ga kuat. Fiuh, gini amat badan ga pernah diajakin olahraga. Beberapa menit berjalan menyusuri pinggiran pantai, sampai juga kami di spot Gigi Hiu. Orang setempat lebih mengenal pantai ini dengan sebutan Batu Layar. Masya Allah. Finally, we are here; Tempat yang viral beberapa tahun belakangan, berseliweran di akun-akun IG pariwisata Lampung. Tapi kok... *sedih๐ข
Sampah dan muda-mudi (belum halal) yang datang berpasangan adalah dua hal yang sangat mengganggu pemandangan di pantai ciptaan Allah yang sangat indah ini. Jadi mikir, jahatnya kita (manusia) sama alam yah; Kita nikmati keindahannya, hati kita terhibur karenanya; Tapi hanya untuk sekedar membuang sampah pada tempatnya atau membawa kembali sampah yang kita buat, susahnya bukan main?! O, Rabb ampuni kami... Harapan untuk pengelola (yang memintai kami uang ketika masuk), sediakan dong tempat sampah di sini. Dan untuk kamu yang datang dua-duaan sama pasangan yang belum halal, inget lho yang ketiga adalah syaithan ๐น๐น๐น
Siang itu cuaca lumayan cerah. Alhamdulillah. Tanpa sinar matahari, tidak mungkin kita dapati lautan yang biru. Allah jadikan keduanya saling melengkapi, saling mengindahkan. Kami mulai sibuk mengabadikan momen ke dalam gadget masing-masing. "FOTOIN", adalah kata yang paling banyak terdengar di sini ๐ Ohiya satu hal yang perlu diperhatiin, jangan korbanin nyawa cuma demi dapetin foto ya. I mean, berhati-hati ketika berada di deretan karang ini. Ombak yang besar siap menerjang kapanpun. Belum lagi bebatuannya yang licin. Tidak ada penjaga atau alat keselamatan apapun yang disediakan. Jatuh ya jatuh, tenggelam ya tenggelam *naudzubillah.
Pantai Gigi Hiu adalah objek fotografi yang super keren. Tiap sudutnya indah untuk diabadikan. Coba deh datang saat sunrise maupun sunset, dijamin kamu bakal ternganga sama hasil foto yang didapetin (kalo cerah lho ya). Tempat ini merupakan surga bagi penghobi fotografi.
Sekitar satu jam kemudian kami memutuskan untuk pulang. "Kalo ngebayangin jalannya tadi rasanya gamau pulang, udahlah di sini aja". Yakaliii. Pantai Gigi Hiu adalah salah satu primadona wisata yang dimiliki oleh Lampung (Kabupaten Tanggamus khususnya); Semoga pemerintah daerah setempat beri'tikad untuk memperbaiki sarana dan prasarana (terutama jalanannya pak tolooong๐ญ๐ญ๐ญ). Toh kalau dikelola dengan baik akan memberikan pemasukan untuk daerah setempat dan warga di sekitarnya.
Pas sampai di parkiran motor, saya speechless. Lha penuh amat yak motornya. Dari yang awal kami datang ga sampai sepuluh motor, kemudian 'beranak' jadi puluhan motor. Ada beberapa mobil juga yang terparkir. Ini membuktikan bahwa pandemi Covid-19 membuat orang-orang kekurangan piknik (!).
Saat akan menyalakan motor, tiba-tiba jantung saya serasa mau copot, deg! Starternya Mati. Gak bisa dinyalakan sama sekali. Dicoba beberapa kali tidak membuahkan hasil. Coba deh dinyalakan manual. Agak kesulitan karena kontur tanahnya berpasir. Ada beberapa remaja yang sedang duduk-duduk istirahat; baru datang. Mereka peka kemudian membantu kami. Yeay, motornya nyala kembali. Huhu terima kasih ya Allah.
Alhamdulillah, perjalanan pulang kami lalui dengan baik-baik saja. Masih dengan perjuangan yang sama; melewati jalanan tanah serta berbatu, licin, rawan selip dan tersungkur. Namun kali ini sudah lebih 'lihai', belajar dari pengalaman pas pergi tadi. Langit menunjukkan tanda-tanda akan hujan. "Plis ya Allah jangan ujan dulu pas lagi di sini", berdoa dalam hati. Alhamdulillah hujan turun pas udah sampe di desa terakhir sebelum jalanan yang parah. Kami berteduh di depan puskesmas (atau apa ya lupa).
Baca juga: Pertama kali ke Bromo Naik Motor
Saya yakin hari itu banyak sekali kebaikan yang Allah berikan dalam perjalanan kami; Contohnya: Rem Siska yang blong kemudian benar kembali. Motor saya yang gabisa distarter, kemudian tau-tau hidup lagi sebelum sempat dibawa ke bengkel. Ban kami tidak ada yang kempes atau bocor (bener-bener ga kebayang kalo bannya bocor di tengah hutan gitu ya Allah...๐ญ๐ญ๐ญ). Saat perjalanan pulang, Allah menghindarkan kami dari kehujanan derasss. Pas hujan turun dengan derasnya, kami sedang berteduh di mushola pinggir jalan untuk menjamak shalat, kemudian saat makan bakso. Jadi cuma 'ketumpahan' gerimis-gerimis manja aja (ga sampai basah kuyup). Dan banyak kebaikan lainnya yang ga kejangkau sama hati dan pikiran kami; sehingga kami pulang selamat sampai rumah masing-masing tanpa kurang suatu apa (eh ada kurangnya sih, kurang main kemana lagi yaaa? Eaaa). Pergi saat gelap, pulang pas udah gelap. Jam setengah 7 malam sebelum Isya, kami sudah berada di rumah masing-masing. Alhamdulillahiladzi bi ni'matihi tathimushalihaaat.
Perjalanan sangat melelahkan, naik turun, becek, licin, menerjang hujan. Lelah kami terbayarkan oleh pantai yang sangat memesona. Keindahan
pantai ini menjadi salah satu bukti tanda kebesaran dan kekuasaan Allah
yang patut kita syukuri dan renungi.. betapa kecil dan tidak berdayanya
kami jika dihadapkan dengan ciptaanNya yang tidak mungkin bisa ditiru
oleh siapapun... Semoga dari perjalanan ini kita mendapatkan
hikmah dan energi positif untuk lebih dekat lagi dengan Allah dan
ciptaanNya.. -Nafis
Perjalanan ke pantai Gigi Hiu kmren itu kalo diibaratkan kayak
perjalanan hidup manusia didunia ya.. Buat ngedapetin atau mencapai
sesuatu yg kita inginkan itu pasti lah ada cobaan dan rintangan. Dan
setelah kita mencapai titik dimana kita merasa puas dan senang itu pun
hanya sementara, akan ada lagi masalah dan cobaan hidup yg bakal kita
hadapi. Tapi setidaknya terasa lebih ringan karena kita sudah pernah
merasakan yg lebih berat. Intinya selalu bersyukur dan jangan mengeluh
dalam setiap keadaan. *kokjadikekmarioteguh ๐ -Mbak Putri Teguh *eaaak
Ati-ati kalo lewat jembatan, Bang Johan abis kesurupan -Ulfa
Wee punya Nafis udah mewakili semuanya -Siska
***
Traveling berarti meluaskan tempat untuk mengingat-Nya. Biarlah bumi Allah yang pernah kita pijak menjadi saksi kita pernah melantunkan dzikir masyaAllah karena takjub akan keindahan alam ciptaan-Nya; Biarlah bumi Allah yang pernah kita lewati menjadi saksi kita pernah melantunkan dzikir Allahu Akbar dan Subhanallah ketika melewati jalanan menanjak dan menurunnya; Biarlah bumi Allah yang pernah kita datangi menjadi saksi kita pernah merasa begitu kecil tidak ada apa-apanya dibanding Ia dengan segala kehebatan-Nya mencipta langit bumi dan seluruh isinya... Allahu 'alam.
***
0 komentar:
Posting Komentar