Selasa, 09 Juni 2020

Ar-Rifah goes to : Menemani Bocah-bocah Mendaki Puncak Gunung Penanggungan di Mojokerto (Bagian 1)


Saya baringkan badan langsung di atas tanah. Lelah, dengan sedikit rasa getir di telapak kaki (wkwk). Tanpa alas kaki dan dengan perut yang kram, masih belum percaya, biidznillah, Allah mampukan saya menapakkan jejak di salah satu puncak tiang pancang bumi-Nya ini. Kalau ingat perjalanan mendaki yang hampir 2 jam lamanya tadi dari Puncak Bayangan, dengan segala tantangan; trek menanjak, batu-batuan, dan modal napas kembang kempis, hanya atas kekuatan dari Allah aja saya bisa sampai di atas sini. Dibanding bahagia karena diri ini bisa mencapai puncak, hati saya lebih berbahagia lagi karena bisa membersamai adik-adik tersayang di kontrakan Ar-Rifah menjejakkan langkah kakinya di Puncak Pawitra Gunung Penanggungan. Alhamdulillah wa masyaaAllah. Sungguh semua ini karena kebaikan dari-Mu ya Rabb. Tiada daya dan upaya melainkan dengan izin-Mu... [Juleebrarian, Puncak Pawitra Gunung Penanggungan, Januari 2020].
***

DAY 1
Pendakian yang bisa dibilang direncanakan dengan kilat banget ini bermula dari sebuah obrolan singkat di ruang tengah. Rabu malam saat itu; Pulang kajian, saya sama Syifa makan Sate Padang di ruang tengah. Leny sama Kenia bercengkerama di kamar (halah). Dari ruang tengah, saya ajak ngomong bocah berdua yang ada di kamar,

"Eh liburan kalian diperpanjang sampe tanggal 27 (Januari) khan. Ayoklah kemana", ajak saya.

"Ayo muncak Mbak", kata Kenia.

"Ayok, Penanggungan", saya menyarankan. Kalo Panderman agak 'biasa' sih. Biasa dalam artian, berangkat pagi sorenya udah bisa pulang lagi. Yah kayak main kemana gitu aja, kurang greget. Kurang dapet feel and experience mendakinya. Akhirnya disepakati (bismillah) kita mendaki Gunung Penanggungan di Mojokerto. Malam itu yang fiks mau berangkat: Saya, Kenia, Leny dan Syifa. Kami langsung bikin grup WA sekalian bagi tugas: Leny as leader, Kenia perlengkapan, Syifa konsumsi. Saya didapuk menjadi penanggungjawab utama (entah apa maksudnya😎).

Kalo kata Leny, "ga nekat ga budal" (budal = pergi, berangkat). Lagi musim hujan sebenarnya, cuacanya gabisa diprediksi. Saya sempat DM adik kontrakan yang hobi naik gunung, tanya pengalamannya pas ke Penanggungan sekaligus menjelaskan kondisi kami yang mendadak banget, katanya gini, "yang utama persiapan fisik Mbak. Cuacanya juga diliat. Kalo emang belum memungkinkan, ya ditunda aja dulu gapapa. Puncak gunung ga kemana-mana kok".

Hmmm. Setelah nanya ke doi jadi agak ragu. Tapi mikir lagi, nanti nih bocah-bocah kalo udah pada mulai kuliah, bakal susah lagi nemuin waktunya yang pas. 2 hari tersisa sampai hari H. Kenia yang tipikal panikan dan well-prepared ngajakin olah raga buat pemanasan. Mayan deh nemenin doi dapet belasan kali mutar lapangan kecil dan beberapa kali lapangan besar di Taman Merjosari. Leny modal jalan kaki ke kampus. Syifa? Modal abis jalan-jalan dari Bromo dan Dieng aja keknya 😐

Kamis malam kami mengagendakan untuk syuro fiksasi biar Jumat bisa eksekusi (belanja kebutuhan dan sewa perlengkapan). Dapat tambahan personil lagi yaitu Himmah (qadarullah Jumat siang Himmah batal ikut karena gajadi dapat izin dari abinya). Jumat menjelang jam 12 malam, baru deh segala macam perlengkapan dan konsumsi lengkap. Saya, Ken dan Leny tidur hampir jam 1 malam gara-gara simulasi bikin tenda di ruang tengah ga bisa-bisa (gatau deh nanti di puncak bakal gimana wkwkw). Nonton tutorial di Yutup juga ga menyelesaikan masalah; ga cukup bisa dimengerti, lah model tendanya aja beda 😡😡😡.

Baca juga: Ar-Rifah goes to : Bakar Ikan di Pantai Bengkung

Hari H keberangkatan. Saya agak khawatir dengan Syifa, jadi berangkat atau tidak. Sehari sebelumnya sakit kepala akutnya kambuh. InsyaAllah tetap jadi berangkat andai harus pergi bertiga saja; Tapi kok krik-krik banget nanti saya naik motor sendirian. Alhamdulillah, Syifa jadi ikut. Sakit kepalanya mereda. Bismillah, sebelum pergi sarapan dulu dibuatin sama Bue. Kami berangkat kurang lebih jam setengah 8 dari Malang menuju Trawas Mojokerto via Cangar.

Perjalanan menuju Mojokerto via Cangar

MasyaAllah. Pagi itu cuacanya ceraaah banget, secerah hati kami (awalnya agak kuatir mendung atau hujan karena beberapa hari itu cuaca emang lagi ga bersahabat). Perjalanan 2 jam kami lalui dengan bahagia ditemani view yang keren sepanjang jalan. Pas di daerah Cangar menuju Pacet tadi sempat sedikit tahan napas sih, jalanannya lumayan bikin tegang. Teruuus menurun. Kami sampai di posko perizinan pendakian Gunung Penanggungan di daerah Tamiajeng, Trawas Mojokerto sekitar pukul 10.00 pagi. Berdasarkan informasi yang saya kumpulkan, ini adalah jalur paling mudah dan bersahabat untuk pendaki pemula. That's why kami mendaki via jalur ini.

Kami rehat sembari mempersiapkan segala kebutuhan untuk pendakian. Di pos 1 terdapat warung, kamar mandi umum; lengkap deh mau sewa perlengkapan mendaki juga bisa. Setelah beres semua, Leny mengurusi perizinan pendakian (bayar 10K per orang). Karena kami berempat tidak ada cowoknya, dibarengin sama bapak petugas dengan 2 pendaki asal Blitar yaitu Mas Ihsan dan Mas Izzul. Bapaknya pesan ke 2 orang mamas itu untuk menjaga kami selama perjalanan (wkwkw!). Lagi ribet udah mau berangkat, eh leader kami tercinta (yang saat itu sibuk syuro onlen ga henti-henti) sandalnya ga proper buat ndaki. Mau sewa juga udah ga ada. Jadi deh disiasati pake tali rafia. Ngapa ga dari kemaren-kemaren, Hayatiii... 😳

Judulnya: anggota yang mengurusi leader-nya -_-

Belum apa-apa para bocah udah pada kelaparan lagi -_- padahal tadi udah sarapan di rumah. Akhirnya mereka makan ubi rebus yang sebenarnya disiapkan untuk makan di atas nanti. Ada seorang bapak mendekat, "Boleh minta Mbak? Saya udah lama ga makan ubi rebus (telo)". Monggo Pak, dengan senang hati kami memberikan. (Ternyata episode ngasih telo atau ubi rambat ini ada hikmahnya untuk kami, nanti pas di Puncak Bayangan).

Briefing oleh petugas feat Mas Izzul dan Mas Ihsan

Bapak petugas menanyai kami apakah sudah siap, lalu kami diminta berkumpul untuk briefing. Ada beberapa hal penting yang disampaikan oleh beliau terkait pendakian di Gunung Penanggungan. Kudu didengerin baik-baik pokonya; antara lain tentang sampah yang harus dibawa pulang kembali (jadi pas turun kami wajib membawa sampah yang nantinya dikumpulkan di pos awal pendakian ini). Bapak petugasnya juga berpesan pas turun harus jalan biasa, gaboleh lari, buahayaaa. Saya agak mengkhawatirkan Syifa yang kadang suka jalan cepet wkwkw. Bismillah, dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, kami mulai langkah awal trekking menuju puncak Gunung Penanggungan pukul 11 kurang.

Cekrek dulu sebelum mulai treking (mumpung masih bisa senyum)

Awal berjalan (masih bisa ngakak hahahaπŸ˜†)

Baru beberapa menit jalan, udah mulai bereaksi sekujur badan. Ngos-ngosan😡. Trek dari pos 1 menuju pos 2 mudah saja sebenarnya, agak landai, tidak terlalu menanjak. Tapi dasar kami yang kurang pemanasan, jadinya sedikit kesusahan. Kuy semangat lagi! Perlahan kami mulai menemukan ritme perjalanan. Gapapa ga cepet, asal kaki terus melangkah. Dengan sabar, Mas Ihsan dan Mas Izzul menunggui kami yang jalannya kayak kura-kura keberatan cangkang.

Boleh mengeluh asal tetap terus mengayuh (ya!)

Ga sampai sejam kami sampai di Pos 2 (jam 11.30 WIB). Things that we have to do: rebahan dan naruh tas carrier yang menyedot tenaga. Huaaa😰. Di pos 2 ada warung di mana kita bisa jajan cilok, gorengan, mie instan, beli minuman dingin, numpang ke kamar mandi dan selonjorin kaki di bangku kayu lebar dan panjang. Alhamdulillah.

Pos 2

Berbeda (merk) sandal tapi tetap satu tujuan

Setelah cukup mengumpulkan tenaga kembali, kami lanjut trekking menuju pos 3. Jalurnya mulai menantang. Jalanan setapak yang mulai menanjak. Walau badan lelah, napas ngos-ngosan, Alhamdulillah masih bisa ngobrol ringan dengan bocah-bocah. Ada saja topiknya; mulai dari yang serius sampe yang retjeh. Bisa saya lihat, mereka berusaha untuk saling peduli dan menanyakan kondisi satu sama lain.

"Capek gak bawa tas itu? Mau gantian?".

"Kuat ga? Kalo engga, kita istirahat dulu yuk di situ".

"Kakinya dilurusin".

Huhu. Melting 😭

Dari pos 2 menuju pos 3

Trek menanjak menuju pos 3

Di tengah perjalanan, di saat capek-capeknya, sambil duduk manja di atas batang kayu besar, saya sempat berpikir, "ngapain coba nyusah-nyusahin diri sendiri naik gunung kek gini? Gada yang nyuruh, gada yang bakalan ngasih apa-apa juga kalo misal berhasil".

Sebenarnya, banyak hikmah yang bisa diambil dalam perjalanan mendaki gunung. Ketika dilakukan bersama beberapa orang, maka itu akan menjadi ajang saling mengenal lebih dalam; mengenal karakter saudara-saudaramu. Selain itu, untuk mempererat ikatan ukhuwwah; karena pernah mengalami masa sulit (saat trekking dan survive dalam proses pendakian) dan masa senang (saat berhasil menjejakkan kaki di puncak) bersama. Bisa juga untuk mengasah kepekaan terhadap kondisi orang lain; Don't be egois 😏

Kalo untuk diri sendiri, efeknya lebih dahsyat lagi. Selama proses pendakian, kita bakal banyak berdialog dengan jiwa terdalam kita (apaan?). Men-challenge diri sendiri; Sejauh mana kita kuat menanggung beban; Seberapa kuat diri kita "diajak susah". Saya bilang sama adik-adik, "setelah ngedaki ini, ntar jalan kaki ke kampus dari kosan (harusnya) udah kayak ga ada apa-apanya lagi". Kerasa lebih ringan. Iya gak?

Last but not least... Yakin deh, lelah yang paling dirindukan (selain lelah menuju Allah) salah satunya adalah kelelahan saat mendaki gunung. Something addict! Ngomongnya sih pas lagi berdarah-darah, "ga bakalan lagi naik gunung kek beginiii hwaaa!". Tapi pas berhasil sampe puncak, terus turun, terus liat foto-fotonya, yang ada bilangnya gini, "kuy puncak mana lagi yang mau kita taklukkin". Ada yang model begitu? Banyak (!) 😎

Rehat beberapa kali sebelum sampai di pos

Sampai di pos 3 jam setengah 12.30 siang. Buru-buru melepas tas, merebahkan badan dan minuuum! Glek glek glek seger bangettt. Harus pintar menjaga persediaan air karena sepanjang jalur pendakian sampai puncak nanti tidak akan ditemui sumber air. Masing-masing kami membawa 2 botol air mineral ukuran 1,5 liter. Ngeberat-beratin sih emang, tapi berguna banget. Jangan sampai nyesel karena ga bawa cukup persediaan air, ya.

Sampai di pos 3

Masih menapaki trek yang setipe dan semakin naik. Jam 2 siang kami sampai di pos 4. Mas Izzul dan Mas Ihsan sampai bingung harus bagaimana membersamai kami; Kalau mereka duluan di depan, kami terlalu lambat. Kalau kami yang duluan di depan, mereka akan sangat lama menunggu kami mulai jalan wkwkw. Semakin jauh trek yang kami tempuh, semakin sulit senyuman terukir di wajah, heleh -_- Udah ga sempat mau bercanda lagi deh. Yang ada, rasanya pengen ngebuang tas keril jahannam yang bikin badan kami rontok ga karuan.

Sampai juga di pos 4, cuy!

Membersamai ketiga bocah ini dan memperhatikan dengan seksama, bisa saya kelompokkan mereka menjadi 3 tipe pendaki. Yang pertama, pendaki cool; Berjalan pelan semampunya, tidak terlalu ngoyo dan sangat santuy. Kedua, pendaki jaim. Hampir mendekati tipe pendaki cool, tapi sebenarnya punya kesulitannya sendiri yang ga diutarakan dan diumbar (tipe yang sungkanan dan gamau nyusahin orang lain). Yang terakhir, pendaki jujur; Apa yang dia rasain pokonya kelihatan dari raut wajahnya. Seneng ya seneng, susah ya susah. Apapun itu, bagaimanapun kalian, love you adik-adik πŸ’•

Dari pos 4 ke Puncak Bayangan, daya tahan tubuh kami benar-benar diuji. Trek semakin sulit. Tenaga udah hampir habis. Demi melihat saya yang kesulitan (maklum, faktor umur gengs), Mas Ihsan menawarkan untuk membawakan barang bawaan saya. "Jangan Mas. Biar saya bawa sendiri sampai atas. Saya mau kasih contoh untuk adik-adik saya ini". Uhuk.

Benar kata bapak petugas di bawah tadi; trek mendekati Puncak Bayangan lumayan berbahaya. Menanjak tajam, rawan bebatuan yang meluncur dari atas. Harus berhati-hati sekali di sini. Di samping itu tantangan lainnya adalah tenaga yang semakin terkuras dan konsentrasi yang semakin menurun. Ya Allah lindungilah pendakian kami ini... Alhamdulillah jam setengah 4 sore akhirnya menjejakkan langkah di Puncak Bayangan. Belum terlalu ramai saat kami datang; hanya ada beberapa kelompok pendaki. Kami bisa memilih spot untuk membangun tenda dengan leluasa. Okay sip, satu spot yang agak di pinggir, dengan perlindungan semak menjadi pilihan kami.

Pusing bikin tenda

Malam sebelumnya di kontrakan, dibantu oleh Bue, kami sempat simulasi ngebangun rumahtangga tenda di ruang tengah kontrakan. Yakaliii. Udah mau jam 1 malam ga kelar-kelar, malah ruang tengah jadi kayak kapal pecah. Tidaaac! Emang menantang banget mendirikan tenda pas muncak tuh. Bayangin aja; Abis trekking termehek-mehek lalu capek sekali, lalu harus mengumpulkan konsentrasi kembali, buat bikin tenda. Setengah jam lebih kami berempat berjibaku berusaha agar tenda berdiri dengan baik; belum juga membuahkan hasil. Hampir putus asa 😴😴😴

Alhamdulillah, pertolongan Allah datang lewat si bapak yang tadi di pos perizinan minta ubi rebus yang kami bawa. Sebentar saja dibantu oleh beliau, tenda kami sudah berdiri dengan gagahnya. Yeay! Alhamdulillah wa masyaAllah. Hikmahnya: Berbuat baiklah dimanapun, kapanpun, pada siapapun dan biarkan Allah yang "mengembalikan" kebaikan itu dengan caranya yang entah apa  πŸ’˜

Leny dan Kenia menjamak shalat zuhur dengan ashar

Sambil nunggu Leny sama Kenia yang lagi shalat, saya ajak Syifa ngobrol. Dua orang yang ditunggu tak kunjung muncul. Usut punya usut, ternyata mereka ketiduran dengan enaknya di atas matras tempat mereka shalat, yaelaaah -_- Saya bangunkan mereka. Saya ajak jajan cilok. Cilok fenomenal Kang Dante. Setelah itu nyore di atas Puncak Bayangan with Mpus handsome sekali (heran banget ada kucing gagah, lucu dan sehat di atas puncak gini, kok bisaaa?)

Itu Kang Dante yang jualan cilok di Puncak Bayangan (sebelah kiri)

Pussy and flowers

Sore yang indah bersama si mpus gagah

Menjelang Mghrib kami masuk ke dalam tenda. Setelah Leny dan Kenia shalat, kami membaca dzikir matsurat petang di tengah gerimis kecil dan riuh suara orang-orang. Biarkan mereka asik dengan musiknya, sementara di dalam tenda, hati kami damai dengan zikir petang yang sayup-sayup kami lantunkan. "Ya Allah, bantu aku untuk (selalu) mengingat-Mu, mensyukuri (segala pemberian)-Mu, dan beribadah yang baik kepada-Mu..."

Waktunya makan malam. Mereka bertiga mulai sibuk menyiapkan semuanya dan mbaknya ini hanya membantu sekedarnya wkwkw. Menu malam itu: Sosis dan nugget goreng beserta oatmeal. Bukan sembarang menu, pemirsa. Karena pemilihan menu itu telah melalui riset yang mendalam lewat membaca banyak artikel tentang makanan yang sebaiknya dibawa dalam pendakian #halah.

Ternyata begitu rasanya oatmeal: tawar! Huhu. Demi memberikan sedikit rasa pada si oatmeal, jadilah kami makannya dicampur dengan coklat Cha-cha. Gausah dibayangin rasanya kek apa ya 😰😰😰 Kemakan aja kalo udah kepepet mah, wkwkw.

Akhirnya hidup juga kompor gas portable setelah susah payah setengah mati ngidupinnya

"Mbak kok kita gak bawa mie instan sama beras sih?"

"Masak mie keknya enak banget ya..."

"Masih laper".

Walau diprotes abis-abisan sama mereka, saya bangga aja bisa ngajarin mereka untuk bawa bahan-bahan makanan yang tepat ketika pendakian. Jadi ga cuma enak dan mengenyangkan aja, tapi perhatikan juga asupan gizi untuk tubuh dan efisiensi pas ngebawanya. Walhasil, saya disuruh menghabiskan oatmeal yang sulit diutarakan dengan kata-kata, rasanya. "Iya maap deh untuk makan malam kali ini. InsyaAllah nanti awal bulan saya traktir kalian makan enak yaaa".

Nugget dan sosis goreng untuk asupan protein

Jangan ada oatmeal di antara kita, lagiii...

Setelah sesi dinner yang bikin iyuh-iyuh itu, kami masuk ke kantong tidur dan ambil posisi masing-masing. Malam ini kita mau ngapain, adik-adik? Main truth or dare. Andalan banget deh kalo udah ngumpul begini. Awalnya masih seru-seruan dan mengandung bercandaan, tapi semakin malam kok pertanyaannya semakin gelap eh dalam. Malam itu semua kebagian 'dipreteli' isi hatinya (apa cuma saya yang ngerasa paling banyak ditanya?); Pokonya malam itu milik kami berempat. Banyak rahasia yang terbongkar... du du du du du πŸ˜ŽπŸ˜‹

Buat saya, se-insecure itu tidur di dalam tenda. Ngerasa ga aman aja pokoknya. Apalagi malam itu Puncak Bayangan dipenuhi puluhan tenda (semakin malam semakin ramai yang datang). Ada yang menyetel musik keras-keras. Riuh deh. Saya gabisa tidur; ngobrol berdua sama Syifa sampai hampir subuh. Leny sama Kenia tidur; entah nyenyak entah engga (tapi ga gerak-gerak sih). Hampir jam setengah 4 subuh, baru deh mata benar-benar gakuat lagi. Tidur (!) Zzz. Padahal harusnya malam itu tidur yang baik, yang nyenyak karena 'penderitaan' kita belum berakhir, Hayatiiii........ [bersambung]

0 komentar:

Posting Komentar