“Allahu
akbar Allahu akbar Allahu akbar Laa ilaha illallah...”
Sayup
terdengar suara takbir berkumandang di penjuru Kota Malang. Pertanda sudah
masuk 10 Dzulhijjah. Waktunya buka puasa. Secangkir air putih dan roti-rotian
sederhana terasa begitu nikmat menemani buka puasa bersama bocah-bocah. Seperti
‘penebus’ perjuangan kami beberapa jam lalu di salah satu ikon wisata Provinsi
Jawa Timur, Pegunungan Bromo Tengger Semeru (TNBTS).
Sehari
sebelumnya:
“De,
jadi ke Bromo?”, tanya saya pada Ade
“Jadi
Mbak. Bahkan tadi kita udah undang Mb Melanie (kenalan Ade yang hobi muncak) ke
Rifah untuk coaching clinic. Ngasih pengarahan ke kita”.
“Saya
lho masih ragu. Nanti ya saya minta pendapat Mb Ratih dulu”.
***
Ke Bromo
naik motor? Cewek-cewek? Terdengar seperti sesuatu yang nekat, saya pikir.
Entah bocah-bocah ini punya pikiran dari mana, tiba-tiba di suatu sore mereka
(Ade dan Qonita tepatnya, “gembongnya”) mengajak saya untuk ke Bromo naik motor.
AIH!
Beberapa
jam menjelang keberangkatan:
“Gimana
Mb Jule ikut ga?”
“Saya
lho masih ragu” (jawaban yang sama)
Saya
bisa melihat ‘kenekatan’ dalam diri mereka. Sudah saya tawarkan destinasi lain, mereka tetap tidak bergeming. Dan kalaupun saya tidak ikut, yasudah
mereka akan tetap pergi, tanpa saya. Big NO NO! Mbak macam apa saya membiarkan
adik-adiknya pergi sendiri padahal saya tahu dan paham perjalanan kesana (saya
baru saja ke TNBTS kurang lebih 2 bulan yang lalu).
“Gimana
Mbak, ikut?”
“Yaaa...”
(jawaban pasrah)
“YEAYYYY!”
Berdasarkan
rencana yang dibuat, berangkat dari Malang tanggal 11 September dini hari (jam
12 malam). Akhirnya rombongan baru lengkap berkumpul pukul 1.00 am. Molor sejam.
Sebelum langsung menuju tekape, kami mampir untuk ‘sahur’ dulu di sebuah warung
makan pinggir jalan.
Oiya,
personil kali ini: Saya, Qonita, Ade, Irul, Dzakirah, Wiwin, dua orang temannya
Wiwin, dan dua orang (cowok) temannya Ade. Total ada 10 orang. Saya sengaja
meminta Ade untuk mencari kenalannya yang cowok, yang sudah berpengalaman ke
Bromo. Saya paham jalan menuju kesana lewat Nongkojajar, itu sungguh gelaaap
dan sepiii. Salah satu syarat yang saya ajukan agar saya ikut adalah harus ada
cowoknya.
Jam
2.00 am rombongan kami yang terdiri dari 5 motor (4 motor matic dan 1 motor persneling), berangkat. Saya dibonceng
Qonita, Ade dengan Dzakirah, Irul dengan Wiwin. Walapun sudah tengah malam,
jalanan Malang masih saja ramai. Kami mengatur urutan motor, agar tidak saling
mendahului maupun meninggalkan. Motor saya dan Qonita memimpin paling depan.
Tidak
lama setelah melewati gapura selamat datang di Kota Pasuruan, saya meminta Nita
untuk memperlambat laju motor. Ada plang penunjuk menuju Penanjakan Bromo. Kami
berbelok. Itu di daerah Nongkojajar. Dini hari, naik motor di daerah
ketinggian, duingiiiiiin! Beberapa kali tangan dan kaki saya kesemutan. Dinginnya
ga karu-karuan. Beberapa kali juga rombongan kami sempat disalip oleh rombongan
motor-motor trail yang sepertinya satu tujuan dengan kami, Bromo. Wih, jadi
sedikit ‘keder’ liat motornya.
Kami
terus melajukan motor. Jalanannya mulus lus. Beberapa kali menemui tikungan
naik yang begitu curam. Hanya bisa dzikir, 'Allahu akbar' berkali-kali. Sampai di
Desa Tosari, Pasuruan, tenyata pengendara motor diarahkan untuk lanjut terus ke
Wonokitri (2 bulan lalu saya beserta keluarga ‘diberhentikan’ dan diharuskan
naik jeep di Tosari). Sampai pintu masuk Wonokitri sekitar pukul 3.30 am. Kami membayar
per orang Rp 32.500 (tiket masuk 30K, asuransi 2,5K) dan kendaraan 5K. Dari pintu
masuk Wonokitri ini tujuan yang paling dekat adalah Penanjakan.
Jalanan
terus naik dan naik. Waktu tempuh dari Wonokitri sampai ke Penanjakan kurang
lebih setengah jam. Sekitar pukul 4 subuh, rombongan kami sudah memasuki
TNBTS. Antri puanjang untuk naik ke Penanjakan. Ternyata macet! Ada mobil jeep
yang berhenti di tengah-tengah jalan dan menghalangi mobil jeep lain untuk naik. Akhirnya
kami memarkirkan motor disitu dan berjalan menuju Bukit Cinta. Penanjakan terlalu jauh untuk kami tempuhi dengan berjalan kaki. Sesampainya kami di Bukit Cinta, langsung menggelar jaket untuk shalat subuh.
Nama Bukit Cinta tidak setenar Penanjakan untuk menyaksikan sunrise-nya Bromo. Padahal menurut saya, sunrise dilihat dari sini tidak kalah cantiknya. Malah, saya lebih merekomendasikan tempat ini (berdasarkan pengalaman pribadi). Penanjakan terlalu crowded. Bukannya menikmati sunrise, malah gagal fokus ngeliatin aktifitas orang-orang yang begitu banyaknya (saya sihhh...). Di Bukit Cinta ini banyak spot yang bisa kita pilih untuk menyambut sunrise. Dan beginilah kami menyambut
datangnya matahari baru di Bukit Cinta...
Salah satu daya tarik Bromo adalah sunrise-nya yang stunning banget, menarik wisatawan (baik lokal maupun mancanegara) untuk rela jauh-jauh datang tengah malam kemari. Kadang saya malu sendiri; bela-belain bangun jam 12 malam hanya untuk berburu sunrise. Dan belum tentu segigih itu azzam (tekad) untuk shalat lail. Hmmm *mikir
Udara pagi di Penanjakan dan Bukit Cinta begitu dingiiiin! Bener aja! Ade ga brenti2 bersinnya. Tidak
berlama-lama disini, jam setengah 7 kurang kami menuju ke lautan pasir dan Gunung
Bromo.
Jalanan yang kami lalui menuju lautan pasir terus menurun dan begitu curam dengan tikungan yang tajam. Huaaah sulit dideskripsikan dengan kata-kata (lebay!). Harus hati-hati, sabar dan pintar-pintar membawa diri eh motor.
Touchdown lautan pasir |
De, bangun... Ayok kita lanjutin perjalanan lagi |
Tidak sampai satu jam, rombongan kami touchdown lautan pasir. Rehat sejenak setelah perjalanan mendebarkan barusan. Hufff... jadi mikir gimana nanti kalo mau balik lagi lewat situ (tanjakan curam, jalan sempit, plus rame jeep). Lagi pada rehat (ada yang selfie-selfie juga) eh si Ade sempat-sempatnya tidur di motor *aji mumpung
[bersambung...]
0 komentar:
Posting Komentar