Bersahabat dengan seseorang sampai mendapati sahabat kita menikah lalu punya anak; untuk saya merupakan rizqi luar biasa yang Allah berikan. Ada yang bersahabat, kemudian terpisah domisili, lalu perlahan mulai kehilangan kontak; atau ukhuwwahnya tidak sehangat sebelumnya. Ada yang terhenti sampai menikah (karena memang pasti akan berbeda feel-nya ketika sahabat menikah, semuanya harus tunduk pada satu kalimat 'ikut suami'). Alhamdulillah dengan Ratih, sahabat dari zaman kuliah sampai sekarang doi 'buntutnya' udah 2, masih Allah jaga selalu hubungan persahabatan kami. Jarak Malang dengan Lembang hanya sedekat doa yang kami panjatkan untuk kebaikan masing-masing. Kalo kata Ratih, "selalu libatkan Allah, jangan menurutkan ego".
Cara menjaga ukhuwwah selain selalu berkirim kabar via media komunikasi adalah sesekali bersilaturahim saat Allah berikan keluangan rizqi. Agustus 2019 saya main ke Lembang (Bandung Barat) berbarengan dengan acara benchmarking kantor. Sekalian deh mampir. Saat di sana tercetuslah ide, "Ratih nanti akhir tahun kita liburan ke Jogja yuk". "Oke nanti aku omongin dulu sama abine". Pulang dari Bandung ke Malang, saya naik kereta sendirian. Walau di kelas eksekutif, tapi krik krik banget. Ga enak pokoke. Saya doa sama Allah, "Ya Allah semoga nanti kalo jadi liburan ke Jogja, (udah) ga sendiri lagi". Ehiya beneran deh dikabulin sama Allah. Ke Jogja ga sendirian; ditemani seorang adik shalihah (baca: Syifa, gadih Minang).
Yang terpenting untuk saya ketika mengajak seseorang adalah, izin dari orang tuanya. Dulu pas mau ke Lombok sama Zharnd alias Bunga Lompat, saya sampe bikin proposal ke ummi abinya biar diizinkan. Alhamdulillah dapat izin. Dari jauh hari saya bilang ke Syifa untuk minta izin ke ummi abinya. Untuk saya, izin dari orang tua itu semacam paspor untuk menjelajahi bumi Allah. Kalo udah punya paspor itu, insyaAllah dimana bumi dipijak, di situ rasa aman bisa didapat. Ridha Allah bergantung pada ridha orang tua.
Ohiya, rencana liburan ke Jogja sama Ratih ini berdekatan juga dengan rencana saya muncak bareng Ade dan Nita ke Gunung Prau di Dieng, Wonosobo. Hmm, kayaknya bisa digabung dalam satu perjalanan. Selain itu, saya ingat di suatu hari pernah chatting sama Syifa di WA, tebak-tebakan sunrise or sunset (waktu itu saya kasih foto sunrise di Sikunir). Di salah satu chatnya Syifa bilang, "ajakin ke sana Mbak". Aye aye captain! Baiklah. Sekali mendayung, 3 pulau terlampaui. Jadi rencananya gini: Bawa Syifa ke Dieng, ketemuan sama Ade dan Nita di Dieng, terus lanjut ke Jogja sama Ratih dan keluarga. (Pada akhirnya saya gajadi ikut muncak ke Prau karena takut exhausted kecapekan).
Senin malam 23 Desember 2019, kami berangkat. Perjalanan dari Malang naik kereta Malioboro Ekspress. Menjelang subuh sampai di Stasiun Tugu Jogjakarta. Kami bersih-bersih diri; sembari Syifa shalat subuh di mushola stasiun. Pengennya sih jam 6 motornya udah diantar ke stasiun, jadi bisa lebih pagi kami pergi ke Dieng. Mamasnya dihubungin ga diangkat-angkat ya Allah. Sambil nunggu respon dari persewaan motor, kami sarapan bekal yang udah dibawa dari Malang. Akhirnya direspon juga, jam 7 motor diantar. Saya sewa motor di Batutah Traveler. Harga sewa motor 60K per 24 jam. Murah khan? Etapi karena musim liburan naik 10K jadinya 70K per 24 jam. Kontak Batutah Traveler 0838-1308-5400 (Mas Ibnu). Recommended lah.
Kereta Malioboro kelas eksekutif |
Menunggu pagi di Stasiun Jogja |
Keluar dari stasiun, kami janjian dengan yang akan mengantar motor di Loko Coffee punyanya KAI. Coffee shop ini buka 24 jam. Jadi kalo misal kamu mau ke Jogja dan keretanya sampai tengah malam, bisa ngopi sembari nunggu pagi di sini. Setelah motor diantar, langsung saja kami bersiap untuk menuju ke Dieng tanpa mandi atau mampir sana-sini dulu (biar cepat sampai dan rebahan).
Loko Coffee Shop di samping Stasiun Tigu Jogjakarta (depan Jalan Malioboro) |
Jogja pagi itu |
Bismillah perjalanan menuju Dieng Wonosobo dimulai. Masih pagi, masih segar. Jalanan tidak terlalu ramai, terik matahari belum begitu menyengat. Saya ajak Syifa ngobrol sepanjang jalan biar ga ngantuk (etapi keknya dia mana bisa ngantuk gara-gara saya suruh baca Maps). Alhamdulillah tidak ada halangan yang merintangi perjalanan kami. Ngantuk pun tidak, Alhamdulillah. Sempat isi bensin satu kali di daerah Temanggung sambil beli rambutan (di sini namanya "ace"). Bingung ga sepanjang jalan dari Jogja ke Dieng? Hmmm, ga terlalu sih. Jalannya ga banyak bercabang kayak hati kamu. Tinggal ikutin aja. Ga sampai turun terus pake GPS (Gunakan Penduduk Setempat).
Gerbang perbatasan Jogja - Jateng (Magelang) |
Kabupaten Temanggung (kota) |
Sampai di Dieng (di penginapan Bu Djono) jam 11 kurang. Langsung makan sama Ade dkk. Niatan awal mau keliling bareng sebelum Ade, Nita pulang sore nanti tapi qadarullah hujan. Karena mungkin sedikit kelelahan dan belum tidur berkualitas, saya tidur sepanjang siang itu ditemani udara dingin Dieng dan suara hujan yang merdu sekali. Syifa juga tidur. Menjelang sore Ade dkk pamitan. Ya Allah sebentar banget sih ketemuan kita hiiiks. InsyaAllah nanti kita bikin janji traveling bareng lagi ya ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
Ade dan Nita -my beloved sister |
Sorenya, daripada diam-diam aja di penginapan, saya ajak Syifa keluar untuk melihat sekitar. Saya bawa Syifa ke daerah Kawah Sileri. Takjub aja gitu, masya Allah. Melihat ladang-ladang penduduk yang hijau dan subur serta kaya akan hasil pertanian (kentang dan sebagainya) 😅 diselingi gas panas bumi yang dimanfaatkan sebagai sumber panas kemudian disalurkan ke daerah-daerah sebagai pembangkit listrik. Betapa kayanya negeri kita ini; Ada yang bilang, emas di Freeport Papua sana saja sebenarnya kalau benar-benar dikelola untuk rakyat, itu sudah mencukupi untuk menghidupi seluruh rakyat Indonesia. Hmmm.
Menjelang maghrib kami kembali ke penginapan. Capek sebenarnya, tapi sayang kalo menghabiskan malam di dalam kamar saja. Akhirnya keluar lagi cari makan sekalian melihat kondisi di Dieng saat malam hari. Saya ajak Syifa makan Mie Ongklok khas Wonosobo. Saya makan Mie Ongklok sate sapi dan Syifa sate ayam. Lumayan mahal harga makanan di Dieng nih. Setidaknya untuk sekali makan, kamu harus siapin uang 20K (plus minum). Tapi kalo mau makan yang standar banget bisa sih 10-12K. Malam itu mengusahakan tidur tidak terlalu larut karena sebelum subuh kami berencana untuk berangkat ke Sikunir. Zzz.
(Hari ke-2) Berburu Momen Matahari Terbit di Puncak Sikunir dan Melihat Telaga Cebong dari Ketinggian
Ada saja yang berbeda ketika kali kedua kita mendatangi suatu tempat. Sama seperti halnya ke Sikunir ini. Sebelum subuh kami berangkat (nanti shalat subuhnya di mushola dekat parkiran Sikunir). Dingiiin! Sampai di loket tiket (bahkan belum di loket tiketnya) kendaraan roda empat sudah mengular, panjang sekali. Dulu pas sama Tika, sepi sekali sampai kami berdua rada takut. Kali ini beda. Ternyata seramai ini orang-orang yang akan berburu sunrise di Sikunir *tepok jidat.
Setelah shalat subuh, saya dan Syifa mulai menapaki anak tangga menuju Puncak Sikunir. Masih gelap. Dingin. Brrr. Seperti biasa, kalau urusan trekking-trekkingan, saya selalu tertinggal di belakang. Beberapa kali Syifa sempat berhenti untuk menunggui saya wkwk. Ramai juga hari itu yang mau naik; Efek tanggal merah dan long holiday. Setelah sampai di atas, kami mencari tempat yang nyaman dan aman (saya sempat terpeleset karena licin efek kabut wkwk).
Setelah shalat subuh, saya dan Syifa mulai menapaki anak tangga menuju Puncak Sikunir. Masih gelap. Dingin. Brrr. Seperti biasa, kalau urusan trekking-trekkingan, saya selalu tertinggal di belakang. Beberapa kali Syifa sempat berhenti untuk menunggui saya wkwk. Ramai juga hari itu yang mau naik; Efek tanggal merah dan long holiday. Setelah sampai di atas, kami mencari tempat yang nyaman dan aman (saya sempat terpeleset karena licin efek kabut wkwk).
Alhamdulillah ala kulli hal. Pagi itu nampaknya sang surya malu-malu menampakkan sinarnya yang keemasan. Tapi masih bisa kami saksikan sedikit semburat jingganya walau tertutup awan hitam. Apapun kondisi yang Allah berikan pagi itu di Puncak Sikunir, kudu tetep bersyukur 😉 Toh kami masih bisa menikmati setiap momennya.
Syifa dan obsesinya pada pohon yang sendiri |
Beralih dari view Gunung Prau, Sumbing Sindoro, Merapi dan beberapa gunung lainnya yang tampak dari Puncak Sikunir, kami menuju sisi lain untuk menyaksikan keindahan Telaga Cebong dari ketinggian. Telaga ini merupakan telaga tertinggi di Pulau Jawa. Kenapa? Ya karena letaknya di Desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa, hyaaa. Entah kenapa telaga ini dinamai dengan Telaga Cebong, apa karena bentuknya yang mirip cebi atau banyak cebi di telaganya, entahlah.
Telaga Cebong from the Top of Sikunir Hill |
Main ke Telaga Warna yang Sedang Surut Airnya
Batere hape saya habis, jadilah kami pulang dulu ke penginapan sebelum menuju destinasi selanjutnya. Sejam cukup untuk ngecas hape dan mandi serta memejamkan mata sebentar saja. Jarak dari penginapan kami di Losmen Bu Djono ke Telaga Warna dekat sekali, sekitar 1 km. Jalan kaki pun bisa, tapi kami males. Pagi menjelang siang itu lumayan ramai yang berkunjung ke sana. Karena sedang surut, hanya satu warna saja yang bisa kita lihat. Biasanya air di telaga ini bisa berubah-ubah 3-4 warna. Mengapa begitu? Karena kandungan sulfur atau belerang yang tinggi berpadu dengan cahaya matahari (sehingga menghasilkan ilusi optik yang entah apa *susah saya jelaskan wkwk). Tidak terlalu lama berada di sini, lanjut ke tempat di mana kita bisa melihat Telaga Warna dari ketinggian. Kuy!
Terjebak Hujan di Bukit Batu Pandang Ratapan Angin
Cuaca sudah menunjukkan ke-enggakcerahan-nya semenjak di Telaga Warna tadi. Saya agak bimbang untuk membawa Syifa kesini. Benar saja, di jalan sudah mulai gerimis dan sampai di parkiran hujan turun dengan derasnya. Allahumma shayyiban nafi'aaan. Kami menyaksikan Dieng Masa Lampau di bioskop mini (dan tua) Dieng Plateu Theater kemudian menunggu hujan reda. Cukup lama hujannya (sempet deh tidur dapet sekarung mimpi nih). Masih gerimis, kami nekat saja menuju ke Bukit Batu Pandang Ratapan Angin (panjang amat yak namanya 👺). Alhamdulillah walau gerimis, masih bisa melihat keindahan Telaga Warna (airnya hijau) dan Telaga Pengilon (airnya warna coklat) dari ketinggian.
Sekitar jam 2 siang kami kembali ke penginapan. Istirahat sampai sore (wkwk kebanyakan istirahatnya). Jadi sebaiknya kalau mau ke Dieng, perhatikan musim juga. Kalo kesini pas lagi musim hujan, ya siap-siap aja banyak selimutan aja di kamar, karena hujan dan udara dinginnya bikin kita pengen tidur aja bawaannya. Malam datang, saatnya keluar jalan kaki cari makanan lagi. Malam ini saya bertekad mau nyobain purwaceng khas Dieng. Purwaceng apaan sih? temennya purwanto? atau kekasihnya purwanti? Plak. Kalo baca di Wikipedia nih... "Purwaceng, purwoceng, atau antanan gunung adalah tumbuhan berkiat
obat anggota suku Apiaceae. Tumbuhan pegunungan ini terkenal karena
khasiat afrodisiak pada akarnya. Pada perkembangannya, akar biasanya
diolah dalam bentuk bubuk, campuran kopi atau susu". Wiiih apaan yak berat banget bahasanya. Pokonya intinya setelah minum itu, kami ga ngerasa apa-apa yang gimana-gimana. B aja.
Purwaceng susu dan purwaceng kopi |
(Hari ke-3) Kawah Sikidang
Pagi ketiga di kawasan wisata Dataran Tinggi Dieng. Udara dingin masih setia menemani kami. Dari pagi hari kami sudah rapi (baca: mandi). Nanti siang rencananya kami akan kembali ke Jogja. Tapi sebelumnya masih ada waktu untuk mendatangi 2 tempat lagi yaitu Kawah Sikidang dan Candi Arjuna. Karena Kawah Sikidang (yang saya tahu) adalah tempat yang sangat ramai, maka saya memasukkan rencana pergi ke tempat ini sepagi mungkin. Benar saja, walau masih pagi dan baru dibuka, sudah banyak yang berkunjung.
Kawah Sikidang merupakan salah satu destinasi di Dieng yang cukup mudah untuk dikunjungi (gaperlu trekking atau jalan jauh). Kawasan ini berupa satu area luas di mana terdapat beberapa sumur kawah dan titik-titik lubang gas yang mengeluarkan belerang maupun panas bumi. Hiyyy. Titik-titik keluarnya gas itu suka berpindah-pindah kayak kijang (kidang), makanya tempat ini dinamakan Kawah Sikidang.
Kawah Sikidang merupakan salah satu destinasi di Dieng yang cukup mudah untuk dikunjungi (gaperlu trekking atau jalan jauh). Kawasan ini berupa satu area luas di mana terdapat beberapa sumur kawah dan titik-titik lubang gas yang mengeluarkan belerang maupun panas bumi. Hiyyy. Titik-titik keluarnya gas itu suka berpindah-pindah kayak kijang (kidang), makanya tempat ini dinamakan Kawah Sikidang.
Percayalah, ini cuma properti foto |
Saya ga terlalu excited berada di sini karena ramai sekali dan terlalu banyak 'pernak-pernik'. Apa itu? Spot foto. Alamnya udah keren masyaAllah, bikin banyak bertafakur tapi semua berubah semenjak pernak-pernik di sana-sini yang bikin orang pada ngantri. Saya bukan orang yang anti spot foto, cuma kalo spotnya kebanyakan suka rumit aja ngeliatnya.
Gunakan maskermu #tangkalCorona |
Menutup Kunjungan ke Dieng di Candi Arjuna
Dari Kawah Sikidang langsung lanjut ke Candi Arjuna. Jadi, jarak dari penginapan Bu Djono ke Candi Arjuna sangatlah dekat (bahkan kalo ga ketutup atap rumah orang, kelihatan dari lantai jendela kamar kami). Candi Arjuna merupakan candi peninggalan kerajaan Hindu. Sebelum masuk ke kompleksnya, kami diharuskan untuk memakai kain batik terlebih dahulu (kayak di Borobudur). Ada beberapa bangunan candi dan reruntuhannya di kompleks ini. Karena keliling sendiri dan ga ada yang jelasin, yaudah cuma lihat-lihat sebentar, ambil foto kemudian menyudahi kunjungan kesini. Yang penting udah pernah menjejakkan kaki hehe.
Sebelum pulang kami mampir dulu beli makan di salah satu warung depan kompleks Candi Arjuna. Syifa pesan nasi goreng (menu andalan kalo udah gatau mau pesan apa lagi 😫). Saya makan sate ayam yang dibeli tadi pagi depan penginapan (keren ya pagi-pagi udah ada jualan sate, biasanya khan malam). Selain itu, kami pesan Es Carica Seger bangeeet. Salah satu yang bakal saya kangenin banget dari Dieng adalah es ini.
Udara dingin Dieng dan sekitarnya sukses membuat kami selalu lapar. Jadi sekalian pulang nanti kami berencana untuk makan lagi di kota, nyobain Mie Ongklok Longkrang yang udah terkenal kemana-mana. Sayangnya gagal ajak Ade dan Nita kesini huhu. Setelah cek-out penginapan dan memastikan tidak ada barang atau kenangan yang tertinggal eaak, bismillah melakukan perjalanan kembali naik motor menuju Jogja.
Seporsi Mie Ongklok ditemani sate sapi khas Wonosobo |
Baca juga: Tempat-tempat yang Harus Dikunjungi di Dataran Tinggi Dieng
JOGJA WE ARE COMING...!
Sekitar jam 1 siang kami berangkat dari Kota Wonosobo menuju Jogja (setelah sebelumnya mencicipi Mie Ongklok Longkrang terlebih dahulu). Alhamdulillah perjalanan lancar tanpa kendala berarti. Perjalanan kami tempuhi sekitar 4 jam. Nampaknya peta menunjukkan jalan pinggiran (jadinya beda rute berangkat dan pulang, ga lewat lintas Jogja-Jateng). Di suatu daerah di pinggiran Jogja (perbatasan dengan Magelang), sepanjang jalan dijajakan duren 😓 godaan gini amat ya Allah. Pengeeen ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ Akhirnya kami berhenti untuk beli rambutan *loh. Iya biar penumpang di belakang saya nih ga ngantuk dan pusing bacain Maps yang tak kunjung berakhir. Fiuh.
Tempat yang kami tuju di Jogja adalah penginapan di Masjid Jogokariyan. Iya, masjid yang terkenal itu lho, karena inovasi-inovasinya dalam memanajemen masjid untuk kepentingan jamaah (belum ada sebulan yang lalu saya melakukan kunjungan kesini *acara kantor). Ratih sudah terlebih dahulu sampai (dari Bandung). Kami akan menginap 3 malam di sini. Tarif per malam 150K dengan fasilitas satu single bed besar, pendingin ruangan, kamar mandi dalam, televisi. Dan yang pasti kemudahan untuk shalat berjamaah karena penginapannya berada di kompleks masjid, asyik khan?! Recommended.
Setelah sampai di penginapan, kemudian kami rehat sebentar untuk meluruskan otot-otot (dan pikiran yang sempat muter-muter karena lelah baca gugel maps). Menjelang Maghrib Ratih mengajak keliling ke Malioboro. Duh. duh. Seramai itu ternyata Malioboro di musim liburan. Saya udah beberapa kali kesini tapi belum pernah mendapati yang seramai malam itu. Allahu, help me. Habis tenaga saya melihat orang berlalu lalang. Mulai malam ini saya sadari kalo saya adalah seorang introver sejati (yang kehilangan energinya ketika berkumpul dengan orang banyak). Gubrak.
Setelah sampai di penginapan, kemudian kami rehat sebentar untuk meluruskan otot-otot (dan pikiran yang sempat muter-muter karena lelah baca gugel maps). Menjelang Maghrib Ratih mengajak keliling ke Malioboro. Duh. duh. Seramai itu ternyata Malioboro di musim liburan. Saya udah beberapa kali kesini tapi belum pernah mendapati yang seramai malam itu. Allahu, help me. Habis tenaga saya melihat orang berlalu lalang. Mulai malam ini saya sadari kalo saya adalah seorang introver sejati (yang kehilangan energinya ketika berkumpul dengan orang banyak). Gubrak.
Pusing ngeliatin orang-orang |
Sampai di penginapan lagi, bisa rebahan, bersyukur banget. Hawa Jogja tuh panas banget, pengen mandi aja bawaannya. Jadi kalo di Dieng males mandi, di sini kebalikannya. Masya Allah. Tadi pagi masih asap-asapan di Kawah Sikidang, malam ini udah umpel-umpelan manusia di Malioboro, kemudian tidur nyaman di penginapan Jogokariyan. Nikmat mana yang bisa kami dustakan ya Allah?
(Hari ke-4) Main ke Candi Borobudur di Magelang
Sebenarnya tahun 2017 lalu saya sudah ke Candi Borobudur, tapi berhubung Ratih dan keluarga mengagendakan kesini kuylah ngikut aja. Kemarin pulang dari Dieng juga lewat sini sebenarnya. Jadi rencananya, saya dan Syifa naik motor sementara Ratih dan keluarganya sewa mobil menuju Borobudur. Kami nanti ketemuan di tempat. Dari Jogja menuju Borobudur di Magelang sekitar 1,5 jam perjalanan. Saya dan Syifa sampai duluan; ga lama kemudian Ratih menyusul. Candi Borobudur ini tipe wisata sejuta ummat, rame terus gapernah sepi.
Si pala gundul Hanan masih ga enak badan jadinya rewel terus sepanjang jalan. Kakaknya juga si pintar shalihah Haneen ga kalah rewelnya (salah satu risiko ngajak anak jalan-jalan adalah faktor kelelahan yang bisa bikin mereka tantrum *duh diriku sok tahu). Belum lagi ramai, belum lagi panas, belum lagi Haneen Hanan yang rewel. Perpaduan yang pas untuk bikin saya meledak wkwk. Sabar... Saya dampingi Ratih pelan-pelan naik ke candi. Tiba-tiba saya merasa kehilangan seseorang. Iya, seseorang yang tadi saya bonceng dari Jogja sampai ke Borobudur. Syifaaa...!
Perhatikan bocah yang pakai syal Palestine itu (sebelum kepisah) |
Siang itu cuacanya terik banget (padahal belum ada jam 12). Ga tahan. Saran saya kalo mau kesini antara pagi banget atau sore sekalian. Sebelum zuhur rombongan memutuskan untuk turun (keluar, kemudian pulang). Karena misah dengan Syifa dan sempat susah dihubungi, saya tunggu Syifa di tangga masuk. Cukup lama saya nunggu anak itu; eh ternyata doi udah menuju pintu keluar duluan -_- Cuaca yang panas bener-bener bikin susah senyum saat itu.
Pala gundul rewel nangis terus lagi ga enak badan |
Sedia payung sebelum ke Borobudur |
Pulang ke Jogja, hujan deras menemani perjalanan kami. Jas hujan yang ada di motor sewaan cuma satu. Kasian Syifa. Sebenarnya Syifa bisa naik mobil dengan rombongan Ratih, cuma karena rasa sayang kasian yang mendalam ke saya: jomblo ujan-ujanan sendirian, makanya doi ngikut saya di motor. Kami sempat berteduh lama di depan sebuah bengkel motor di pinggiran Jogja karena hujannya turun sederas-derasnya. Jalanan banjir. Petir menggelegar. Ciut nyali saya bawa motor di kondisi seperti itu.
Sepanjang hari itu otomatis waktu kami hanya dipakai untuk kunjungan ke Candi Borobudur saja. Sebenarnya kalau mau bisa keliling malamnya ke sekitaran Kota Jogja; tapi cuacanya yang gerimis membuat kami betah hanya di kamar sambil nonton film ratu horror Indonesia Suzanna Beranak dalam Kubur hwaaa. Penginapan Masjid Jogokariyan letaknya sangat strategis; Kalo mau cari makan tinggal melongo saja sudah dapat. Seriusan.
(Hari ke-5) Memulai Hari dengan Kunjungan ke Taman Sari
Malam nanti rencananya saya dan Syifa akan kembali ke Malang. Ada waktu seharian untuk menuntaskan penasaran akan tempat-tempat di Jogja yang mau didatangi. Saya sih ngikut aja Syifa pengen kemana. Syifa sempat menyebutkan Taman Sari. Lihat Maps ternyata jaraknya ga jauh, masih di sekitaran kota. Baiklah. Sebelumnya saya tahu tempat ini dari Instagram. Bagus sih tapi ga terlalu berambisi kesana karena saya paham pasti akan sangat ramai.
Taman Sari, sesuai namanya, adalah bekas taman atau kebun Keraton Jogjakarta. Tempatnya lumayan luaaas dan bikin pusing lho (muter-muter gitu kek labirin). Dalam satu kompleks situs ini terdapat beberapa kolam pemandian, gedung, kanal air, lorong bawah tanah, dan sebagainya. Jangan harap bisa dapat foto bagus kayak di IG kalo kamu kesini pas musim liburan atau pas tanggal merah. Rame booos! Ohiya kalau pengen santai nikmatin tempat ini berikut tahu sejarahnya, kamu bisa sewa guide yang banyak menawarkan jasanya di sekitar sini.
Main di Sekitaran Kampus UGM
Setelah sedikit pusing dengan ramai dan panasnya Taman Sari, kami menuju UGM untuk menenangkan diri. Tujuan sebenarnya adalah menemani Syifa menemui kakaknya dulu di Payakumbuh yang saat ini hijrah ke Jogja. Yasudah mumpung belum jelas mau ketemu di mana jam berapa, saya ajak Syifa keliling kampus UGM sebentar (Grha Sabha Pramana, perpustakaan pusat dan Maskam UGM). Kali aja nanti Syifa mau lanjutin kuliah Bahasa Arabnya di sini *Eh.
Selepas menemani Syifa menemui kakaknya, Kak Opie, kami berpamitan dan janjian untuk ketemu Ratih makan di Raminten. Sebenarnya tempat ini agak unik (untuk tidak dibilang aneh). Banyak unsur mistisnya. Selama itu halal, gapapa sih pengalaman sekali makan di sini kalo pas berkunjung ke Jogja wkwk. Kalo ke Raminten harus siap antri yak. Misal ngantri jam 2 siang, bisa-bisa baru 2 jam kemudian dapat kursi untuk makan 😴
Kereta Malioboro Ekspress yang akan membawa saya dan Syifa pulang kembali ke Malang terjadwal pukul 20.30 WIB dari Stasiun Jogjakarta. Jarak dari Masjid Jogokariyan ke stasiun ga terlalu jauh sebenarnya, tapi kami gamau berspekulasi (macet dan lain-lain). Sebelum jam 7 berpamitan dulu dengan Ratih dan keluarganya. Sampe jumpa lagi, anak buahku kesayanganku. Syifa membaca Map, saya fokus membawa motor. Ampun deh. Dulu pas di Bali sempat emosi sendiri karena nyasar sana sini. Ternyata di Jogja lebih parah lagi. Macet! Kendaraan padat di mana-mana. Sampai akhirnya puncak kekesalan adalah kami nyasar di gang sempiit yang motornya harus dituntun. Ugh! Bawaan banyak, buru-buru, capek. Masih pake adegan turun dari motor segala. Alhamdulillah pada akhirnya sampai juga di stasiun dan ketemuan sama yang mau ambil motor dari Batutah Traveler. Masih sempat bernapas sebelum kereta membawa kami. Fiuh...
Alhamdulillahiladzi bi ni'matihi tathimushalihaaat. Segala puji hanya milik Allah yang dengan ni'mat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Perjalanan dengan kereta malam sepertinya akan sukses membuat kami cepat terlelap. Nyatanya, walau capek seharian keliling kesana kemari (belum lagi kehectic-an menuju stasiun tadi) kami habiskan waktu dengan banyak mengobrol malam itu di kereta. Terima kasih Dieng dan Jogja atas pengalaman yang diberikan. Terima kasih untuk Ratih dan keluarga yang udah buat rencana ini terwujud biidznillah. Terima kasih Syifa udah menjadi jawaban dari Allah "semoga nanti pas ke Jogja ga sendirian lagi ya Allah". Semoga perjalanan ini Engkau liputi dengan keberkahan, ya Rabb.
Semoga Allah pertemukan kembali
Tidak hanya di dunia melainkan juga di surga-Nya
0 komentar:
Posting Komentar