Hal penting apa yang bisa kasih kamu kekuatan untuk bangun dan mandi pagi di hari libur?
Saya: Maen!
Entah sejak kapan rasa ini bermula... Yang pasti ketika melihatnya, ada rasa yang tak bisa dibendung. Ada rindu yang harus segera ditunaikan. Ada rasa lega mendalam ketika sudah bertemu. OOOH IKAN!
Semenjak jadi ikan lovers, saya selalu excited akan hal apapun yang berbau ikan. Pemburu telur ikan; Tiap ke Sumber Maron atau ngelewatin situ mesti beli telur ikan (sampe abis 50K). Di kantor, saya meletakkan 2 ikan betta atau cupang di meja kerja saya. Juga ada satu di rumah. Ketemu pasar ikan, merupakan satu kebahagiaan tersendiri. Ada satu tempat di Kuningan (Jawa Barat) sana, Situ Cicerem, yang pengen banget saya kunjungin. Danau dengan ikan-ikannya yang stunning. Save dulu deh, cita-citain. Ntar kalo Allah kasih kesempatan baru kesana.
Suatu hari, qadarullah mata ini ngeliat aja sebuah tempat di feed Instagram yang mirip banget sama Situ Cicerem. Namanya, Sumber Wuluh. Tempatnya dekat dari Malang, di Mojokerto. So, ayo kesanaaa!
Jadilah Sabtu pagi (8/12/2018) saya dan Tika siap-siap mulai dari pagi menjelang untuk menuju Mojokerto. Kami bikin bekal untuk dimakan di sana. Sebelum berangkat, dhuha dulu gaes biar berkah mainnya. Kurang lebih jam 7 pagi kami berangkat dengan berboncengan motor dari kontrakan. Jalur yang akan kami lalui adalah jalur ramai Malang - Surabaya. Walau udah mengusahakan pergi pagi, jalanan sudah padat dengan kendaraan. Bahkan dari arah Surabaya - Malang sudah terjadi kemacetan di beberapa titik. Fiuh.
Di daerah Gempol, Pasuruan terjadi kecelakaan. Kami berhenti sebentar untuk kepo. Sudah agak lama kejadiannya. Kecelakaan diakibatkan oleh sopir mobil Avanza yang mengantuk. Mobil Avanza melewati jalur kemudian truk menghindar dan malah nyungsep di sawah (berdasarkan berita yang saya baca). Alhamdulillah ga ada korban jiwa, cuma luka aja sopir Avanza. Awal liat mah suudzhan kalo sopir truknya yang nabrak mobil kecil, hehe. Selalu hati-hati dan jangan lupa baca doa keluar rumah kalo bepergian ya!
Kurang lebih jam 8 lewat, motor kami memasuki daerah Mojokerto. Ada plang selamat datang besar menyambut kami. Tidak sulit menuju ke Sumber Wuluh ini. Setelah melalui jalanan besar kemudian masuk gang kecil, lewat rumah-rumah warga, sampailah kami di tempatnya. Alhamdulillah. Bahkan lebih cepat dibanding ke pantai di Malang Selatan yang butuh waktu paling cepat 2 jam perjalanan.
Segera saja kami memarkirkan motor di dalam area Sumber Wuluh. Belum ada pengunjung datang saat itu. Hanya ada satu dua orang penduduk setempat sedang membersihkan kolam. Saya menuju warung di dekat pintu masuk, membeli makanan ikan seharga 1K. Murah meriah. Oiya tidak ada tiket masuk di tempat ini. It's free!
Seperti halnya sumber-sumber yang ada di Malang, Sumber Wuluh ini terasa sejuk dan adem karena dinaungi oleh pepohonan besar. Dari pohon inilah mengalir sumber mata air jernih yang kemudian menjadi kolam dan dihuni oleh ikan-ikan cantik berwarna-warni. Di area sumber terdapat sebuah bale atau pendopo tidak terlalu besar yang bisa dijadikan tempat istirahat. Di sampingnya, ada bangunan kecil (awalnya saya kira mushola).
Saat kami datang ada seorang bapak (warga sekitar) yang sedang berada di dekat kolam ikan. Kami berbincang lalu dijelaskan beberapa hal terkait Sumber Wuluh ini. Tapi lama-kelamaan kok bapaknya modus -_- Males dah jadinya ngobrol-ngobrol lagi. Kabuuur. (Bedakan antara beramah-ramah dengan menjaga izzah, please).
Sumber Wuluh atau Sumber Ndhuwur (orang setempat menyebutnya) adalah sebuah sumber air yang (konon katanya) merupakan peninggalan Majapahit. Wallahu 'alam. Sumber ini terletak di Dusun Sidorejo, Wonosari, Kec. Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Tempat ini sudah lama ada. Dan lagi-lagi, media sosial memiliki peranan besar sehingga akhir-akhir ini ramai orang mengunjungi tempat ini.
Baca juga: Berkunjung ke Patung Budha Tidur di Mojokerto
Baca juga: Berkunjung ke Patung Budha Tidur di Mojokerto
Melihat ikan-ikan yang banyak ini hilir mudik kesana kemari menyejukkan hati. MasyaaAllah. Ada kepuasan tersendiri ketika kita memberi makan kemudian mereka mendekat dan berebutan pakan ikan yang kita berikan. Berasa horang kaya wkwk.
Di sampjng bangunan kecil ada bekas bakaran dan dupa-dupa. Duh, perasaan saya udah ga enak nih. Ga enaknya bukan karena ngeri ada apa-apa di sini, lebih ke..."Ya Allah ngapain sih ada beginian". Bangunan kecil yang awalnya saya kira mushola untuk shalat, ternyata adalah sebuah punden (setelah bertanya pada bapak yang modus itu).
Ada tulisan yang saya baca di Academia.edu tentang sumber air dan adanya punden atau pertirtan...
"Desa-desa pada umumnya dibangun di sekitar sumber air. Secara keruangan, terdapat jarak yang memisahkan area hunian dengan sumber air. Orang Jawa meyakini bahwa di setiap sumber air ada "penunggunya". Pemberian jarak tersebut dimaksudkan agar antara yang hidup dan yang sudah meninggal tidak saling mengganggu. Sumber air dapat berupa sungai, telaga, kolam (sendang) yang dinaungi pohon besar. Punden dibangun di dekat sumber air. Punden adalah makam leluhur pendiri desa (sing mbabat alas). Secara rutin masyarakat desa mengadakan upacara ritual ke punden dan sumber air. Terdapat banyak larangan dan mitos berkaitan dengan sumber air ini..."
Untuk menjaga kelestarian alam, menjaga kelangsungan sumber air bukan dengan cara mengadakan ritual tiap purnama lah, tiap tanggal sekian, atau perayaan-perayaan yang mengandung unsur syirik. Ada ayat dalam Al-Qur'an yang artinya "Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam". Kalo kata Ustadz Aan Chandra Thalib, bentuk rahmat itu adalah dengan menjaga lingkungan dan menghormati alam semesta. Dengan menjadi muslim yang baik maka otomatis kamu juga akan menjadi manusia yang cinta alam, sadar akan kewajiban untuk menjaga lingkungan.
Ikan-ikan yang berada di Sumber Wuluh ini terdiri dari beberapa jenis. Ada Ikan Mas, Mujair, dan lele albino. Warnanya cuma bisa bikin kagum sama penciptanya. Oiya ikan-ikan ini kalo sudah pada masa panennya, akan diambil kemudian dimasukkan lagi bibit baru.
Setelah keabisan gaya dan keabisan spot foto sana-sini, kami melipir menuju meja dan kursi sederhana yang dibuat oleh penduduk setempat. Kayu yang dibentuk menjadi meja kursi kemudian ditutup terpal. Kreatif lho. Dengan semangat, kami membongkar 'harta karun' yang kami bawa dari rumah (bekal). Bikin bekal sendiri, insyaallah lebih higienis dan terjamin kebersihannya.
Bekal yang kami bawa dari rumah. Ga terjamin juga kesehatannya karena yang kami bawa adalah mie instan wkwkw.
Kolam Sumber Wuluh ini sebenarnya lebaar sampai kesana-sana. Oleh warga, diberi batasan mana yang untuk ikan dan tidak boleh diceburin, mana yang bisa buat mandi, dan mana yang untuk kolam pelihara ikan saja. Bagian yang hanya untuk pelihara ikan, jika tiba masa panen akan dibuka untuk umum untuk diambil beramai-ramai. Syaratnya, ngambilnya gaboleh pake alat apapun, kudu pake tangan kosong. Wah! Sumber air ini mengairi persawahan yang ada di sekitarnya. Jadi kalo kita kesini bonus sawah juga. Back to nature.
Heee mau dibawa kemana sepeda orang?!? |
Murnikan aqidah kamu selama traveling mengunjungi tempat-tempat baru. Yakin deh, tidak ada keburukan atau kebaikan sekecil apapun yang datang pada kita melainkan atas izinnya Allah. Menjaga perilaku dan adab di tempat yang didatangi, perlu banget! Tapi jangan lakukan itu karena takut kena tulah, pamali, atau apa dah bahasanya. Jangan ya.
Mending baca ini nih... (doa singgah di suatu daerah)
"A'uudzu bi kalimatillahit tammaati min syarri ma khalaq"
Ayo menjaga alam dan lingkungan ini dengan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, yes!
Setelah makan bekal yang kami bawa, kami pun lanjut ke tujuan selanjutnya yaitu daerah Trawas untuk berburu durian. Jarak dari Ngoro ke Trawas kurang lebih 30-45 menit perjalanan. Kami langsung memasang Maps 'Desa Duyung'. Fyi, Desa Duyung merupakan salah satu desa penghasil durian di daerah Trawas. Qadarullah nemu tempat ini pas lagi gugling Durian Trawas (sebelumnya have no idea about this place).
Belum ada sebulan ini saya dari Trawas outbound bareng keluarga besar
perpus. Ternyata jalan yang saya lalui ini berbeda dari yang waktu itu. Apakah nyasar? Ternyata tidak dan malah dapat bonus pemandangan.
Kami ngelewatin jalur pendakian Gunung Penanggungan jugak. Lagi enak-enak liat pemandangan bagus, liat cowok-cewek lagi mesra banget di salah satu gubuk... Bisa ga sih orang ngebangun tempat wisata tuh ga cuma mikirin
keuntungan duniawi tapi juga ada tanggungjawab akhiratnya? Kalo misal
liat cowo - cewe bukan muhrim (dan jelas-jelas bukan suami istri) mesra-mesraan di
pojokan diusir kek atau disiram air gituuu....wkwkwk *JombloMurka
Kami sampai di Desa Duyung tidak lama kemudian. Yang khas, durian di desa ini dijual langsung oleh warga di teras rumahnya (bukan di lapak). Jadi kalo kita beli udah kayak bertamu gitu. Suasana kekeluargaan lebih terasa pastinya ya. Ada beberapa rumah yang menjajakan durian di teras rumahnya, tapi belum banyak. Belum musim agaknya.
Kami berhenti di depan salah satu rumah dan iseng bertanya harga durian pada si empunya. "Berapa harga durennya Buk?". "Macem-macem Mbak, ada
yang 20, 25, 50..." Tika gamau. Bukan karena harganya, tapi mau cari siapa tau ada yang lebih bikin greget lagi. Saya menghidupkan motor kembali kemudian terus saja kami sampai batas desa. Ga nemu lagi, yah. Akhirnya saya memutuskan untuk mengajak Tika ke Fresh Green yang berada di Desa Duyung juga.
Pas
mau parkir langsung tanya sama tukang parkirnya, "Mas bisa beli duren ga
di sini?". Mamasnya bilang kalo belum musim. Yasudah deh, beli Mendem
Duren aja. Udah pernah nyoba belum? Dulu saya pernah nemu jualan ini di Mal Olympic Garden di Malang
trus ga pernah nemu lagi setelah itu sekarang. Where are you?!
Cuma satu kata untuk deskripsiin Es Mendem Duren-nya... Enak!!! Kayak makan duren beneran, cuma ditambah es dan beberapa topping kayak meses n taburan kacang. Lebih nikmat lagi karena makannya sambil ngeliatin duren yang bergantungan. Ya Allah...*ngiler
Fresh Green adalah tempat semacam rest area. Kita ga dipungut biaya masuk ke sini, hanya membayar uang parkir saja. Sepertinya tempat ini deketan sama Duyung Trawas Hill, salah satu tempat wisata keluarga di Trawas. Pohon durian dimana-mana. Emang mantep banget nih kalo pas lagi musimnya kesini. Agendakan!
Setelah shalat Zuhur kami melanjutkan perjalanan. Kali ini menuju
pulang via jalan lintas Trawas - Prigen. Rencananya mau mampir ke beberapa
lapak durian yang waktu itu saya lihat. Ternyata kelebihan dan ga nemu. Yaaah. Belum rizqi. Pulang lewat lintas Trawas - Prigen nih kudu banyakin dzikir. Jalannya ngeri banget. Tanjakan dan turunannya curam. Bener-bener pastikan kendaraan kamu fit.
Lagi enak-enak bawa motor, sampai
daerah Prigen nemu satu lapak penjual durian. Mampir dong, ini yang kami cari-cari hehe. Harganya variatif, mulai dari 20 sampai dengan 200K per tiga buah. Duriannya kecil-kecil kaliii. Pas nanya sama abang yang jual, ternyata
duriannya bukan durian Trawas. "Ini dari Bali, Mbak. Kalo yang
Trawas belum musim. Nanti sekitar bulan 2 panennya".
Hiyaah.
Suka banget aku lihat pemandangan sunber air Wuluh, apalagi ada kaitannya dengan sejarah Majapahit.
BalasHapusBanyak ikan cantik-cantik.
Jadi berasa horang kaya yaaaa ... punya ikan banyak ..
Wkkwwkk !
Iya Mas. Silahkan mampir dan rasain sensasinya kasih makan ikan berasa hoorang kaya hehe
Hapus😘😘😘
BalasHapusKuy kesini Ndaah
BalasHapus