Senin, 20 Januari 2020

Ketika Dua Orang Introver Menikmati Pantai (Cerita Perjalanan ke Pantai Malang Selatan dan Kutipan Buku Mendengar Nyanyian Sunyi)


Untuk seorang penghobi traveling sepertiku, yang butuh men-charge energi dengan 'menyerapnya' dari alam, sebulan atau 2 bulan tidak pergi ke pantai itu rasanya seperti handphone yang hampir kehabisan baterai. Iya aku tahu, tidak seharusnya kita meletakkan ketenangan hati dan menambah energi pada hal-hal yang sifatnya duniawi, tapi bukankah alam adalah termasuk ayat-Nya; tanda kebesaran-Nya yang bisa kita jadikan sarana untuk mentadabburi kekuasaan-Nya? Jadi, tidak masalah bukan merasa rindu pada alam?! Ehe.

Mungkin tidak banyak yang paham kalau aku ini seorang yang sungkan-an. Sudah begitu, pemilih. Perpaduan yang pas untuk membuat sebuah rencana hanya ada dalam angan saja. Rencananya aku ingin pergi ke pantai, mengajak seseorang (saja). Padahal kalau aku mau asal pergi saja dan dengan siapa saja, insyaAllah rencana tersebut bakal segera terwujud (biidznillah). Okay, i am give up on my travel plan. Kumenyerah pada keinginan itu. Jadilah itu hanya tertuang di status media sosial saja, di sebuah story yang kuunggah di WhatsApp, "Kangen laut, tauk!"

Hingga ada yang "menangkap" pesan itu.

"Mbak ayok ke pantai". Sebuah ajakan yang biasa. Tapi aku merasa seperti memperoleh 'undangan' spesial. Entahlah, mungkin aku yang berlebihan. Jujur saja, sempat terbersit keinginanku untuk mengajaknya memang. Namun kuurungkan karena ada kalanya aku tidak siap terhadap penolakan. Aku sangat pemikir; sampai-sampai setiap sebelum mengajaknya (kemana) aku selalu berpikir panjang terlebih dahulu. Aku aneh ya?

Terlalu banyak berpikir sebelum berbicara akhirnya membuatku berada dalam kondisi ragu-ragu. Aku selalu terdiam lama di persimpangan pertanyaan: apakah mengungkapkannya atau diam. Jika kuutarakan, aku harus siap dengan resiko dihantui penyesalan sampai bertahun-tahun lamanya. Tapi, jika aku diam, aku tak akan pernah tahu... (hal. 26)

Rencana dibuat; Waktu ditentukan. Kukirimkan sebuah pesan bernada berani dan memperjuangkan, "Kalau jadi pergi, mau pergi berdua aja". (Ya, sedang ingin berdua saja. Entahlah. Bagiku, beramai-ramai itu menyenangkan, berdua itu menenangkan. Kupikir saat itu aku membutuhkan ketenangan). Terlalu banyak rasa sungkan dalam hidupmu akan membuat hidupmu tidak asik, lho. Percayai kata-kataku. Jadi, aku memperjuangkan apa yang aku inginkan. Kukirimkan pesan itu (setelah berkali-kali berpikir). Kutekan rasa sungkan sampai-sampai perutku sakit memikirkannya. Just like a butterfly in your tummy, maybe? Or a dragon! haha.

Jangan berteman untuk sekadar menjauhi kesendirian. Kesendirianmu mungkin berganti menjadi berduaan, bertigaan atau lebih. Tapi, jarak yang terlalu jauh dengan diri sendiri akan membuatmu merasa sepi. Bertemanlah dengan mereka yang saat dengannya kau tak merasa menghabiskan energimu dengan percuma. Berkawanlah dengan mereka yang membuatmu merasa tak kesepian, saat di dalam lingkaran maupun ketika jarak memisahkan. Bertemanlah dengan mereka yang tak membuatmu menjadi sosok lain, hanya demi sebuah penerimaan... (hal. 5-6)

Ada banyak cara untuk membuat sebuah perjalanan menjadi tidak biasa dan layak diingat-ingat. Aku mengajaknya pergi di waktu fajar, sebelum subuh. Sebelum pergi, masih banyak waktu tersedia untuk menengadahkan tangan memohon pinta di sepertiga malam-Nya. Traveling jangan sampai melalaikan hak-hak Allah. Rencananya, kami akan shalat subuh di masjid yang kami lewati dalam perjalanan nanti. Oh ya, kuberitahu salah satu alasan kenapa aku mengajaknya pergi sepagi mungkin; Allah bagikan keberkahan di waktu pagi. Entah nanti perjalanan ini akan menjadi seperti apa, membosankan? melelahkan? Atau menyenangkan dan menenangkan? Suka-suka Allah mengaturnya, asal diliputi keberkahan. It doesn't matter. Ah, kuakui masih sering lalai dan melewatkannya #waktupagi.
 
Perjalanan pagi selalu menyenangkan; Belum banyak asap kendaraan yang kita hirup, jalanan bebas terbentang untuk dilewati, dan tak perlu khawatir soal sengatan matahari yang akan membuat telapak tanganmu menjadi semakin hitam porong. Asyik saja kami berkendara sembari berkutat dengan pikiran masing-masing, menyelesaikan dzikir pagi yang belum tuntas atau sesekali mengobrol memecah suasana.

Sampai kemudian, "ayam ayam ayam!!!"

Obrolan tentang film Final Destination tadi kembali terngiang tatkala seekor ayam hampir membuat motor kami oleng; caranya Allah mengembalikan konsentrasi yang perlahan berkurang seiring lengangnya jalanan yang kami lewati.

Mentari terbit mengantarkan perjalanan kami menuju selatan Malang. Tak perlu berhenti kemudian memandangi, ia sudah beranjak ke tempatnya sesuai arahan pencipta-Nya. Anggun. Pukul 6 pagi, kami sampai di pantai yang kami (saya) tuju. Rekor pergi ke pantai (dan pergi main) terpagi sepanjang sejarah. Bahkan loket tiket belum dibuka dan itu berarti kami masuk tanpa perlu membayar. Alhamdulillahiladzi bini'matihi tathimushalihaaat. Sebuah pondok di pinggiran Pantai Regent (pantai pertama yang akan kita temui pertama kali dari loket tiket) menjadi tempat yang tepat untuk sarapan. Bekal nasi goreng dengan lauk telur setengah matang yang ia masak pagi-pagi buta, cukup membuat hati meleleh. Kau tahu, aku adalah orang yang paling tidak bisa tidak terharu jika diperlakukan dengan baik, salah satunya soal makanan. Ibuku di rumah terbiasa melakukan itu padaku; Aku akan melakukan itu pada orang yang kusayang; Dan aku akan menyayangi orang yang memperlakukanku seperti itu. Rumit ya? Hehehe.

"Itu jatah Mbak. Dihabiskan ya"

"Sejujurnya saya ga terlalu ingin makan", ucapku sambil menyendokkan nasi goreng ke mulut. Dia pergi ke pinggir pantai sebentar, kemudian kembali lagi mendapati wadah bekal sudah kosong. Walau bilang tidak terlalu ingin makan, pada akhirnya aku memutuskan untuk menghabiskannya. Hehe. Untukku, masakan paling enak selain masakan mamak di rumah adalah masakan yang (sengaja) dibuatkan untukku.


Lepas menghabiskan sarapan, kami melanjutkan perjalanan kembali. Hari itu kuputuskan untuk mengajaknya ke deretan pantai yang ada di kompleks Pantai Balekambang (berkendara kurang lebih 2 jam perjalanan dari Kota Malang). Kami benar-benar berniat untuk mandi (tas kami yang besar oleh baju salin cukup menjadi bukti betapa hari itu kami bukan hanya ingin memandangi pantai saja). Ada beberapa deret pantai (sangat) sepi di sana, agaknya menjadi tempat yang tepat untuk mengasingkan dan mengasinkan diri.
***

Kecenderungannya untuk menjauhi keramaian, kesukaannya pada keheningan, dan kesederhanaannya dalam memaknai kebahagiaan, adalah tiga hal yang seringkali dianggap sebagai kelemahan introver. Namun, pada saat yang sama, ketiganya justru adalah kekuatannya untuk menghadapi dunia yang penuh dengan kegelisahan-kegelisahan ini. Misalnya, sikap menjauh dari keramaian, menghindari 'neon god' dan menyukai keheningan, akan mencegah area prefontal korteks di otak dari kepadatan informasi. Itu bisa membuat pikiran lebih tenang... (hal. 112)

Kami singgah sebentar saja di Pulau Ismoyo, landmark khas Pantai Balekambang dengan sebuah pura yang berdiri di atasnya. Sepagi itu, bisa kubilang pantainya sudah mulai ramai. Aku mengajaknya beranjak; "perjalanan kita belum berhenti, masih akan kesana lagi". Ayo. Langkah kaki membawa kami ke Pantai Jembatan Panjang yang bersebelahan dengan Pantai Balekambang. Untuk masuk kesini, pengunjung harus membayar lagi tiket sebesar 10K per orang.

Sepi. Hanya ada satu dua orang di pantai ini. Sudah kuduga. Tidak terlalu lama kami berada di sini karena (aku tahu) perjalanan masih akan terus sampai di sebuah tanjung yang indah di ujung sana. Mengabadikan momen dan keindahan alam ke dalam memori gadget; Melihat dan menjelajah sekitar; Mengelilingi Pulau Hanoman memecah rasa penasaran; Adalah beberapa hal yang kami lakukan di Pantai Jembatan Panjang ini.


Kembali aku mengajaknya berjalan. Kau tahu, ini menyenangkan berjalan bersama dengan mereka yang muda; mereka yang masih punya banyak cadangan energi. Aku merasa tertular energi mereka, that's why aku lebih (cenderung) menyukai bepergian dengan yang lebih muda dari usiaku.

Tujuan kali ini cukup menguras tenaga karena kami harus menyusuri hutan, menaiki bukit yang sebenarnya tidak terlalu tinggi dan mengatur napas sebaik-baiknya. Ada harga yang harus dibayar untuk sesuatu yang pantas diperjuangkan, bukan? Dan inilah Tanjung Sirap di depan mata. Tersembunyi jauh dari pandangan manusia. MasyaAllah.


Sudah cukup waktu untuk memacu adrenalin. Kami beranjak dari Tanjung Sirap. Saatnya melemaskan otot dan pikiran dengan memilih satu pantai yang nyaman untuk rebahan dan mandi tentu saja (!). Kami menemukan pantai yang amat tenang antara Tanjung Sirap dan Jembatan Panjang kemudian memutuskan untuk berhenti di situ. Awalnya kami berniat untuk main air; Ombak yang tak henti bergulung di Pantai Dali Putih ini meyurutkan niatan kami. Akhirnya apa yang kami lakukan? hanya tidur-tiduran, naik pohon, mencari biota laut, dan berkontemplasi.

Bagaimana dua orang introver menghabiskan waktunya berdua di pantai? Yah di pantai inilah jawabannya. Kami punya dunia sendiri di kepala kami. Kami asik berada di dalamnya. Sesekali kami keluar dari dunia itu dan saling berinteraksi. Ada ruang hening yang tercipta, tapi aku tidak mempermasalahkannya. Entah dengannya.

Kukatakan padanya, "kalo mau nilai temen tu setia apa ga, coba deh, mau ga dia nungguin kita tidur dan dia ga ikut tidur jugak. Bener-bener nungguin pokonya".

:) 


"Jangan menghabiskan waktu untuk menyakiti dirimu sendiri dengan berharap terlalu tinggi". Dengan sisa-sisa kesadaran, aku meninggalkan keinginanku untuk dipahami. Karena, aku sadar bahwa hati manusia adalah sesuatu yang terlalu rumit untuk dipahami seutuhnya. Aku tak melanjutkan harapan tinggiku karena sadar bahwa ia yang terbang terlalu tinggi adalah yang paling sakit saat jatuh... (hal. 101)

Aku tidur, mencoba memejamkan mata. Tempat dan waktu yang pas untuk mengistirahatkan diri dari segala hiruk pikuk dunia dan beberapa hal yang sempat hampir menumbangkan diri beberapa saat lalu. Sepi. Hanya ada kami berdua dan ombak bergulung tak henti. Alih-alih tertidur, aku malah terbangun karena membayangkan tsunami (suara ombak ini mengingatkanku pada Tsunami Aceh 2004 lalu). Ia menungguiku. Lalu gantian. Ia merebahkan dirinya, tanpa alas langsung di atas pasir. Aku duduk di salah satu dahan pohon besar. Menungguinya tidur. Diam saja. Mengumpulkan kerang. Memikirkan banyak hal.

Aku memutuskan tali-tali yang sering mengikatku pada sebuah tuntutan egosentris. Aku tak lagi berharap ada seseorang yang mau menyelami dalam dan dinginnya palung laut dalam diriku. Aku mulai menganggap bahwa itu adalah keinginan yang terlalu tinggi... (hal. 102)

Ia bangun kemudian bersiap untuk menunaikan shalat. Mengingat Allah (baca: shalat) di alamnya yang terbentang luas. Ada sensasi tersendiri. Walau merasa kebingungan menentukan arah kiblat awalnya. Kemudian mengira-ngira dengan melihat matahari; Mengasah insting terhadap alam.

Biarkan Tuhan mengajarkan pelajaran ini kepadaku, "menuntut lebih sedikit daripada yang aku bisa, memberi lebih banyak daripada seharusnya"... (hal. 102)


2 jam lebih kami menghabiskan waktu di situ. Dari Pantai Dali Putih, kami kembali lagi ke arah Pantai Jembatan Panjang. "Kali ini yang jadi motivasi terbesar balik kesana adalah es kelapa muda", ucapku sambil ngos-ngosan. Siapa yang bisa menolak kelezatan daging kelapa muda dan segar airnya di tengah udara panas pantai?! 

Perjalanan bersamanya (selalu) kumanfaatkan untuk sekadar mengobrol. Mendengar untuk memahami; bukan hanya untuk menjawab rasa keingintahuan yang ada di hati. Aku adalah seorang INFJ-A yang Alhamdulillah Allah karuniakan "kesabaran" dalam mendengarkan kisah orang lain. 

Awalnya, mungkin kau mengira ia pendiam, sampai kau mendengarnya berkata-kata. Kau takkan tahu betapa sibuk isi kepala si pendiam itu jika kau tak pernah melihat caranya berbicara. Beri ia kesempatan untuk menerjemahkan pikiran-pikiran yang berjejalan di dalam kepalanya, meski kadang ia tampak seperti berbicara dengan dirinya sendiri. Beri ia waktu untuk menjelaskan, meski sesekali ia mengatakan kosakata yang sulit kau pahami.

Aku menyukai menyelami pikirannya. Aku banyak bertanya padanya tentang hidupnya. Ada yang akan dengan semangat ia jawab. Ada yang pertanyaan itu tak siap ia jawab. Ah, maaf. Aku suka melampaui batas. Jika sudah begitu, aku lebih baik diam. Ketika aku banyak bertanya padanya, sesungguhnya itu seperti aku sedang membaca dan memahami sebuah buku. Karena sejatinya, setiap orang yang kita temui layaknya sebuah buku yang Allah berikan pada kita. Entah bagaimana dan dengan cara apa kita akan mengambil hikmah dan pelajaran dari buku tersebut, it's up to us.

Biarkan ia meralat, mengingat-ingat, sampai ia mengatakan apa yang benar-benar ia maksud. Biarkan tembok pemisah yang ia miliki luruh oleh derasnya aliran ceritanya. Biarkan ia membuka dirinya padamu; pelan tapi pasti... (hal. 12)


Kita tidak tahu drama macam apa yang akan terjadi jika kita sudah saling mengenal; saat kita membuka tabir yang menutupi wajah tulen kita; saat segala citra yang kita desain sedemikian rupa itu larut ditelan obrolan-obrolan nan akrab... (hal. 37)

Sesampainya di Pantai Jembatan Panjang, kami pilih satu warung untuk menikmati kelapa muda. Masya Allah. Mendapat nikmat di saat yang tepat, apa yang lebih baik dari itu?! Setelah menghabiskan 2 buah kelapa muda, kami kembali ke niatan awal yaitu berenang di pantai. Segala puji hanya milik Allah, pemilik segala jenis cuaca; cerah berangin badai mendung. Siang itu hari milik kami. Cuacanya begitu bersahabat. Menghabiskan waktu berendam di air laut selama berjam-jam jadi tak terasa. MasyaaAllah. "Udah puas belum main airnya?", kutanyakan padanya demi mengingati telapak tangan yang sudah mulai keriput keasinan. Dari sorot matanya saja aku bisa membaca kalau ia masih ingin berendam lebih lama lagi. "Yaa, baiklah. Lanjutkan". Dua air asin yang punya efek menyembuhkan: air laut dan air mata. Eh ada satu lagi, air keringat (baca: saat membakar lemak-lemak jahat di tubuh).


Dan kita sedikit demi sedikit menguliti aib kita sendiri; luka hati, masa lalu, dan masalah-masalah kita. Lalu, kita mulai berterusterang soal ketakutan terbesar kita, kesepian yang kita jalani, dan kecemasan-kecemasan tentang masa depan yang terus-menerus menggantung di pintu hati kita... (hal. 37)

Seberapa siap menghadapi sebuah perpisahan? Sambil menemaninya berenang, kuutarakan tanya padanya (juga pada diriku sendiri sebenarnya). Yah, introver adalah seorang pemikir ulung. Akhir-akhir ini banyak hal yang kupikirkan. Entah pengaruh bacaan, keadaan atau usia yang sudah merangkak menjauhi angka 20-an. Ehe. Bagiku, saat sedang pergi keluar seperti inilah saat yang tepat untuk membuat sebuah obrolan yang dalam.

Hingga tiba waktunya; yang tersisa untuk kita pandang hanyalah dua sosok manusia yang rapuh. Dan di detik itu, kita merasa bagai tengah memandang cermin. Merasa sekawan. Merasa senasib. Aku dan kau tak ada beda; sama-sama tengah bergelut dengan konflik dalam diri kita masing-masing, sama-sama memiliki badai di kepala dan hati, dan sama-sama ingin terlihat baik-baik saja... (hal. 37)


Kukira hari itu kami akan pulang cepat; bayangkan saja pergi sebelum subuh dari rumah?! Nyatanya, menjelang sore baru kami beranjak pulang. Perjalanan yang ringan; hanya ada dua kepala; tak perlu banyak kompromi. Kepala yang satu pengatur, kepala yang satu lagi penurut. Cocok. 2 jam perjalanan kami lalui sampai di Kota Malang. Masih ada sedikit tenaga tersisa untuk menunaikan hak perut yang terakhir diisi pagi jam 6 tadi.

Perjalanan hari itu, apa yang kami dapat, selain fisik yang lelah dan wajah yang terbakar? Untuknya, aku tak tahu karena kami tak membahasnya. Untukku pribadi, aku merasa menghabiskan satu hari itu dengan orang yang tepat. That's it. Segala puji hanya milik Allah yang dengan ni'mat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Jika ada yang tetap di sisimu setelah mengenalmu, mengenal masalahmu, masa lalumu, dan kebiasaan burukmu, yang demikian itu yang boleh dipersilakan untuk memasuki istana hatimu. Untuk memulai penjelajahan asing dan baru bersama-sama sebagai dua manusia biasa dan nyata, bukan sebagai dua malaikat yang maya... (hal. 37)

***
 Judul buku: Mendengar Nyanyian Sunyi: Catatan penjelajahan ke ruang pikir introver
Penulis: Urfa Qurrota Ainy
Penerbit: CV. Halaman Indonesia
Tahun terbit: 2019
Tebal buku: xxiv + 179 hal.
ISBN: 9786020848495
Harga: Rp 65.000

***

0 komentar:

Posting Komentar