Kamis, 14 November 2019

Melalak ke Air Terjun Tumpaksewu di Lumajang Jawa Timur


Sambil bersandar pada pinggiran anak tangga, setengah mati saya mengatur napas agar stabil. Kata-kata Hanan tadi masih terngiang-ngiang, "usahakan napasnya stabil Mbak. Jangan diikutin ngos-ngosannya. Bernapas normal aja". Baiklah, Ibu Guru. I'll try. Satu, dua, tiga, tetap saja napas saya memburu dengan cepat. Hanan sudah tidak lagi terlihat, menghilang dari pandangan. Apa memang sesuatu yang indah, harus berdarah-darah dulu menggapainya?

Pelan tapi pasti, saya lanjutkan lagi menaiki anak tangga menuju ke atas. Yes, almost there! Akhirnya sampai atas juga. Perjalanan menuruni tebing bawah Air Terjun Tumpaksewu yang tingginya mencapai 120 meter dan kemudian naik lagi, akhirnya tuntas. Nan yang sampai atas duluan sudah ngadem dan meluruskan kaki di sebuah warung. Satu kalimat yang saya ucapkan begitu ketemu Nan, "mau mati rasanya Nan". Wkwkw. Selebay itu. Untuk mengapresiasi diri yang sudah berjuang ngos-ngosan naik turun anak tangga tadi, kami memesan 2 gelas es kelapa muda. Tidak sampai 5 menit sudah tandas. Perjalanan naik lebih cepat, hanya 30 menit. Tapi dengkul kaki rasanya kayak ada pait-paitnya gitu deh -_- Getir.

Segelas es degan segar seharga 2K saja
***

Bisa dibilang perjalanan ke Air Terjun Tumpaksewu kali ini adalah trip dadakan. Hanan (adik kontrakan Ar-Rifah jaman 2014 dulu) menghubungi saya mengajak main. Awalnya Nan ngajak ke Banyuwangi. Lha kok pas banget, pas lagi menggebu-gebu jiwa wanderlust dalam diri saya pengen main karena udah lama ga ngebolang. Qadarullah, tiket kereta Malang - BWI habis. Yaudah deh Nan, kita tetap main tapi yang dekat-dekat aja dulu. Banyuwangi insyaAllah nanti re-schedule lagi. Saya tawarkan ke Air Terjun Tumpaksewu. Kenapa? Karena dari sebulanan yang lalu pengen banget ke sini lagi setelah kunjungan pertama di tahun 2017 lalu.


Hari Sabtu (9/11/2019), kami berangkat jam 8.30 dari Kota Malang. Padahal awalnya saya yang ajak Nan untuk pergi pagi (jam 7-an) biar ga panas dan ga kesorean pulangnya. Tapi karena malam sebelumnya main ke Alun-alun Batu sampai larut malam, bangun siang dah wkwk (jangan ditiru, hanya untuk jomblo). Saya jemput Nan dulu di daerah Puncak Dieng Malang. Rencananya rute yang kami lewati adalah Kota Malang - Gadang - Bululawang - Dampit - Tirtoyudo - Ampelgading kemudian Lumajang. Oiya kali ini saya mengajak Nan untuk masuk via pintu Lumajang.

Kota Malang lagi panas banget. Santai saja saya mengendarai motor karena bawa istrinya orang (dan bawa diri sendiri yang masih jomblo hiyaaa). Jalanannya berkelok-kelok seperti jalan Malang - Kediri yang lewat Kasembon. Walau akhir pekan dan tanggal merah, Alhamdulillah tidak terlalu ramai. Di perjalanan saya bilang ke Nan, "Nan, main kita ini bisa bernilai ibadah lho kalo kita niatin untuk mentadabburi buminya Allah. Khan ada banyak tuh di ayat Qur'an disebutin berjalanlah kamu di muka bumi.. Lha kalo diem di rumah terus ga kemana-mana, ya ga liat alamnya Allah yang udah sempurna dan indah diciptakan sedemikian rupa ini dong".

Masuk daerah Tirtoyudo (Malang kabupaten), jalannya sudah dilebarkan dan baru diaspal lagi. Pas tahun 2017 lalu jalannya masih sempit. Lumayan mambantu banget sih pelebaran jalan ini. Asyik berkendara sambil ngobrol sana-sini, ternyata gapura selamat datang Air Terjun Tumpaksewu sudah tampak di depan mata. Alhamdulillah. Setengah jam lebih cepat dari prediksi awal. Padahal tadi saya perkirakan kami sampai pukul 11.30 karena berangkatnya lumayan siang.


Loket masuk menuju Air Terjun Tumpaksewu Lumajang berada di Desa Sidomulyo Kecamatan Pronojiwo Kabupaten Lumajang. Kalo kamu berkendara di jalur lintas Malang - Lumajang bakal nemuin pintu masuk air terjun ini. Segera saja kami memarkirkan motor di tempat yang sudah disediakan. Sarana dan prasarana sudah lumayan lengkap. Ada warung makan, kamar mandi dan mushola tidak jauh dari situ. Saat kami datang, sudah lumayan banyak kendaraan yang parkir. Ayokla mumpung belum terlalu siang kita segera turun, Nan. Kami membayar tiket per orang 10K.

Menuju loket tiket
Perhatikan peta wisata ini kalo mau jadi traveler cerdas
Dari loket tiket, kami masih harus berjalan lagi kurang lebih 500 meter dengan trek menurun tajam untuk sampai di panorama view. Oiya dari parkiran, kita bisa milih mau lewat jalur yang ke panorama view atau trekking via Goa Tetes. Kami memilih langsung ke panorama view biar bisa liat air terjunnya dari ketinggian. Jalan kaki ke bawah melewati perkebunan salak pondoh milik warga.



Kalo males jalan dari parkiran, ada jasa ojek yang bisa antar jemput kita menuju panorama view. Tarif per orang 10K. Sebenarnya dekat sih, tapi mahalnya bukan karena jarak tapi medan yang ditempuh. Serem cuy. Sampai di panorama view cuma bisa melongo. Masya Allah bagusnya. View air terjun dari panorama view Lumajang lebih bagus menurut saya. Lebih luas jarak pandang kita.


Hari semakin panasss. Dari panorama view, kami melanjutkan perjalanan menuju bagian bawah air terjun. "Nan serius mau turun?". "Iya Mbak". Saya paham sekali dengan karakter adik satu ini, kalo bilang iya ya iya. Baiqlah mari kita lakukan dan kita taklukkan. Sejujurnya saya belum ada gambaran sama sekali medan yang akan dilalui menuju ke bawah. Ganbatte! *singsingkan lengan baju

Kearifan lokal
Ada aturan yang harus dipatuhi pengunjung jika ingin turun ke bawah, tidak boleh sembarangan. Aturan tersebut dibuat tentu saja demi keselamatan pengunjung. Apa saja itu? Cekidot foto di bawah... Kalo melanggar hal tersebut kemudian na'udzubillah terjadi apa-apa, ya monggo ditanggung sendiri yak.


Pintu awal (sebelah kanan) menuju kesengsaraan dengkul wkwkw
Belum ada jam 12 siang, tapi panasnya super menyengat. Bismillah. Dengan semangat kami turuni anak tangga. Trek awal masih berupa tanah menurun yang dibentuk sedemikian rupa menjadi anak tangga. Wajar sih, di ketinggian seperti ini akan susah membangun anak tangga permanen. Belum lagi longsor yang mengintai. Bersabar menapaki anak tangga menuju ke bawah. Agak bawah lagi, kemudian ketemu tangga dari besi. Selama trekking, saya lebih banyak berada di belakang Nan. Hanya untuk memastikan dia baik-baik saja (atau emang saya yang ga kuat untuk jalan di depan duluan wkwkw).

Baru awal turun masih belum permanen anak tangganya
Ini serem banget bawahnya jurang (!!!)
Anak tangga terbuat dari besi
Jujur saya akui treknya luar bi(n)asa! Ga kebayang kalo ke sini pas lagi musim hujan. Hampir sampai ke bawah, ada satu jalur greget banget yang harus kami lewati. Antara keren tapi kok bikin deg-degan banget. Bayangkan, aliran air! Kami harus melewatinya untuk turun ke bawah. Tampilan Nan shalihah banget macam mau ke mall atau kondangan. Bisakah kita? Yes, we did it! Basah semua deh kaos kaki dan rok kami.

Turun tangga ini dulu
Terus jalur licin ini
Kemudian kudu basah-basahan lewatin trek ini (!)
Setelah melewati trek aliran air maka gak lama dari itu sampailah kami di bawah tebing. Aselik keren banget sensasi berada di bawah. Ngerasa keciiil dan ga ada apa-apanya gitu di hamparan semesta, uhuk. Di bawah sini ada satu warung. Alhamdulillah. Saya beli air mineral. Kami masih harus berjalan beberapa meter lagi menuju loket tiket. Lho di bawah ada loket lagi? Iyap. Per orang harga tiketnya 10K.



Kami mempercepat langkah. Sudah ga sabar mau lihat air terjunnya dari bawah. Kata orang, ini Niagara-nya Indonesia. Dari jarak beberapa ratus meter kami sudah bisa merasakan tempias air. "Nan, udah mau sampe nih". Benar saja, dibalik tebing bisa kami lihat dengan jelas ribuan (atau jutaan ya?) volume air meluncur ke bawah dari ketinggian 120 meter di atas permukaan laut. Indah banget ya Allah...! Masya Allah tabarakallah. Ga sia-sia jadi jelek nurunin ratusan anak tangga tadi. Seketika lelah kami menguap. Kemudian asik sendiri mencari tempat terbaik menikmati luncuran air yang turun ke bawah ini.



Air Terjun Tumpaksewu bisa dibilang salah satu yang paling indah di Indonesia. Bentuknya unik, memanjang seperti tirai. Kalau pas lagi cerah, air terjun ini keren banget dengan bekgron Gunung Semeru di belakangnya. Pantes aja deh skor bintangnya 5 di Tripadvisor. Ga seperti pantai yang kita bisa main-main air atau pasir di tempatnya, menikmati air terjun cukup dengan memandanginya dari kejauhan. Atau bisa juga dengan "menikmati" trek berdarah-darah menuju ke sana huhu.


Tidak berlama-lama karena Nan kebelet pipis, sementara di bawah situ gada toilet sama sekali, kami segera beranjak.

"Mau ke Goa Tetes kah?", tanya saya ke Nan

"Ayok Mbak".

"Yaudah ayoklah sekalian udah termehek-mehek kita sampe bawah sini. Daripada ntar penasaran".

Kami jalan lagi menuju Goa Tetes. Ga sampai 500 meter ketemu satu loket tiket (lagi!). Satu orang harus membayar 10K. Setelah melewati loket tiket, tempat yang pertama kali kami temui adalah Tebing Nirwana. Uh kerennya ga terungkap dengan kata-kata. It just amazing!



Tebing Nirwana
Kami sangat menikmati berada di Tebing Nirwana. Piknik bawa makanan sambil mandi-mandian bakalan seru banget deh di sini. Jam menunjukkan sekitar pukul 2 siang. Menuju Goa Tetes ternyata masih harus naik tangga lagi ke atas. Hayati ga sanggup, Bang. Udah deh pulang aja yuk. Nan juga kayaknya udah exhausted. Udah susah senyum wkwkw.



Telaga Biru yang ga biru-biru amat hari itu
Kami naik ke atas lewat jalur pas berangkat tadi. Sungguh-sungguh menyiksa kaki. Hanan sudah tidak kelihatan lagi. Saya cuma bisa ngos-ngosan sendiri. Lah, susah-susah kayak gini siapa yang suruh cari? Tapi gapapa deh selama menyenangkan hati. (Hiyaaa berhasil bikin tulisan akhiran i semua wkwkw!)

Thanks to minuman coklat yang udah kasih sedikit stamina
Alhamdulillah. Seneng deh Allah kasih kesempatan ke sini lagi di musim yang berbeda. Agustus 2017 lalu berkunjung pas musim hujan. Nuansanya berkabut gimana gitu. Keren! Kali ini (November 2019) masih musim kemarau dan panas cerah. Gunung Semerunya kelihatan masyaAllah. Pas baru sampe atas tadi, selesai trekking melewati ratusan anak tangga, abis mengalami episode kecapekan parah, exhausted, rasanya ga mau lagi deh turun-turun ke bawah kalo ke sini. Tapi pas sampe rumah nih, udah tidur udah istirahat, rasanya gasabar mau ajakin adik-adik Ar-Rifah kesini wkwk. Kuingin melihat mereka sengsara *seringai jahat

"Saya nih tipe yang ga masalah datang ke suatu destinasi wisata berkali-kali. Bahkan dengan orang yang sama. Karena pasti Allah kasih feel yang beda di tiap kunjungan itu".

"Iya Mbak, Nan juga".

Setelah sekian lama, baru ini bisa traveling lagi sama Nan. Saya pikir sudah ga akan mungkin, karena dia sudah menikah. Alhamdulillah masih Allah kasih kesempatan. Berjalan bersama adik satu ini rasanya santuy. Kami tidak perlu banyak bicara, namun saling mengerti. Nan bisa mengikuti alur saya dengan baik, begitupun saya mencoba untuk mengikuti inginnya. Alhamdulillahiladzi bini matihi tathimushalihaat. Semoga kapan-kapan bisa Q-time gini lagi yah (bareng suami Nan juga gapapa hehe).


Sampai di parkiran dekat loket tiket, kami menuju mushola terlebih dahulu untuk menjamak shalat Zuhur dengan Ashar. Ya Allah gini banget mau ketemu menghadap Allah, kotor semua bajunya wkwkw. Jam 4 sore kami memulai perjalanan pulang. Alhamdulillah jalanan tidak terlalu ramai. Tapi tetap saja, truk-truk pengangkut pasir dari aliran lahar dingin Semeru kami temui tiap beberapa kilometer sekali. Sekitar jam 6 sore kami sampai dengan sehat selamat sentosa di Kota Malang. Masih belum terlalu malam dan dari pagi kami belum makan nasi sama sekali, saya mengajak Nan makan dulu sebelum berpisah.

"Nan mau makan apa? Saya yang traktir yok".

"Nan manut".

Akhirnya satu porsi sate kambing dan gule Bang Saleh menjadi penutup perjalanan kami yang lelah (tetapi lebih banyak bahagianya) malam itu.
***

0 komentar:

Posting Komentar