"Pada setiap langkah di negeri ini, debu
menyeruak ke rongga mulut, kerongkongan, lubang hidung, kelopak mata.
Bulir-bulir debu yang hampa tanpa makna, tetapi menjadi saksi pertumpahan darah
bangsa-bangsa, selama ribuan tahun".
"Lembar demi lembar mimpi tentang
Afghanistan tercabik dibawa angin gurun". (p. 5)
"Mengapa harus pulang? Rumah sudah
menjadi puing. Tak ada roti. Tak ada impian. Tak ada lagi yang tertinggal,
kecuali selimut debu, kerumunan orang-orang lapar, kehancuran kebangaan masa
lalu". (p. 23)
"Ditengah kecamuk perang dan kemelut
ketakutan, kedamaian yang ditawarkan perbukitan hijau yang tenang adalah mimpi
indah. Bagi sebagian orang, ini adalah ilusi yang tak terbayangkan di negeri
berselimut debu". (p. 179)
"Khaak, debu itulah yang mereka
agungkan sebagai watan,
kampung halaman. Walaupun gersang dan tandus, kepulan debu itu yang menjadi
curahan cinta mereka, dan akan mengubur jasad mereka. Seperti halnya negeri
kepulauan kita, tanah dan air yang kita jadikan tumpah darah, khaak Afghanistan akan selalu memanggil
semua Afghan kembali pada akarnya". (p. 339)
0 komentar:
Posting Komentar