"Hingga
akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si musafir pulang, bersujud di samping
ranjang ibunya. Dan justru dari ibunya yang tidak pernah kemana-mana itulah,
dia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini terabaikan".
"Sederhana,
tak ada yang istimewa dari kumpulan serpihan-serpihan memori perjalanan ini.
Tapi kata demi kata akan terus kubaca. Tentang tawa riang dan tangisan. Tentang
kejatuhan dan kebangkitan. Tentang kehilangan dan penemuan. Tentang
keputusasaan dan semangat baru. Tentang kenangan, harapan, impian, ambisi,
realita". (p. 9)
"Kemonotonan
memang bagian dari perjalanan. Siapa bilang kehidupan backpacker itu seperti
film laga yang setiap menit menyuguhkan petualangan mendebarkan? Dalam tiga lusin
jam terakhir, hidupku cuma tidur, makan mi instan, baca buku, mengobrol, mengantuk,
tidur, makan mi instan… Waktu begitu berlimpah, seakan tiada habisnya".
(p. 21)
"Ranjang
adalah saksi dari awal sekaligus akhir perjalanan panjang. Di atas sebilah
ranjang, bay merah meraung mengawali napas di alam luas. Setelah bertahun-tahun
dia merambah dunia, kini di atas ranjang pula, dia menanti ujung jalan, detik
untuk menghembuskan napas penghabisan". (p.155)
"Perjalanan
turun adalah proses melucuti ego. Jauh lebih mudah memupuk kekayaan sepanjang
hidup, daripada melepaskan semua itu menjadi pertapa hampa. Ini kebalikan dari
pendakian, yang sejalan dengan logika ambisi: berjuang untuk lebih tinggi dan
lebih tinggi lagi. Bagi trekker, setiap meter pendakian adalah proses memupuk
kebanggaan. Tujuan jelas: titik tertinggi. Tapi sekarang, semua itu harus
di-reset, dikembalikan ke nol. Pencapaian panjang itu harus dijebloskan begitu drastis
hanya dalam sehari. Turun… turun… dan terus turun". (p. 205)
0 komentar:
Posting Komentar