Penulis : Khrisna Pabichara
Penyunting : Suhindrati Shinta & Rina Wulandari
Penerbit : Noura Books
Tahun
terbit : 2012
Tebal
buku : xviii + 369 halaman
ISBN : 978-602-9498-24-0
Harga : Rp 62.500
…Sungguh,
aku ingin mengatakan bahwa selama ini tak ada waktu luang agar aku bisa belajar
dengan tenang : setelah shalat shubuh sudah harus menyabit rumput, terus ke
sekolah, setelahnya meyabit rumput lagi, lalu belajar mengaji, ngangon domba,
dan tatkala malam sudah menyelimuti Kebon Dalem tak mungkin lagi belajar karena
gelap-gulita …(hal.19)
Dahlan kecil, terlahir dari keluarga sangat
sederhana di sebuah kampung bernama Kebon Dalem. Daerah Kebon Dalem merupakan kampung
kecil yang dipenuhi oleh barisan ladang tebu, di Kecamatan Takeran Kabupaten
Magetan. Keterbatasan mengajari Dahlan kecil untuk hidup dengan penuh
penerimaan dan kesabaran. Dahlan
hidup bersama ayahnya yang pendiam, bijaksana dan tegas serta ibunya yang ulet,
penyabar dan pintar membatik dan adiknya yang usianya tidak terpaut jauh, Zain.
Setiap hari Dahlan harus berjalan kurang lebih 6 kilometer untuk mencapai
sekolahnya di Pesantren Takeran. Dengan tanpa sepatu tentunya. Kaki lecet dan rasa
lapar menjadi teman setia yang menemani perjalanannya menuntut ilmu sejauh 6
kilometer. Dahlan mempunyai dua hal yang sangat diimpikannya, impian yang
selalu terlintas dibenaknya sejak ia mulai bersekolah : sepatu dan sepeda.
Dahlan yang pada saat itu duduk di bangku
tsanawiyah (sekolah menengah pertama) harus bersabar ketika di umurnya yang
masih belia harus menghadapi kenyataan bahwa ibunya, karena suatu penyakit yang
tidak ia ketahui, harus meninggalkannya, adik dan bapaknya untuk selamanya.
Meninggalkan rasa pilu yang mendalam untuk anak seumurnya. Ia bukan hanya harus
menjadi kakak bagi adiknya, tapi harus menggantikan posisi ibu bagi adiknya
karena semenjak kepergian ibunya, ayahnya lebih sering pergi ke ladang ataupun
bekerja dan jarang pulang.
Waktu adalah penyembuh terbaik bagi
kesedihan. Hari berganti hari, Dahlan mulai kembali disibukkan dengan
sekolahnya. Kepiawaiannya dalam bermain bola voli mengantarkannya menjadi ketua
tim bola voli Pesantren Takeran. Hingga suatu hari keteguhan Dahlan untuk tetap
“nyeker” (tidak bersandal dan bersepatu)
harus di uji ketika diadakan turnamen bola voli antar sekolah se-kecamatan.
Parahnya, panitia mewajibkan setiap peserta untuk memakai sepatu. Bagaimana
akhirnya nasib tim bola voli sekolahnya? Bagaimana pula kisah masa kecilnya
bersama sahabat-sahabatnya? Juga persahabatannya dengan Kadir yang pendiam, yang
menyimpan kisah hidup pilu terkait dengan peristiwa pemberontakan Laskar Merah
PKI Madiun 1948?
Sepatu Dahlan merupakan buku pertama dari
trilogi novel Sepatu Dahlan, Surat Dahlan dan Senyum Dahlan (awalnya Kursi
Dahlan) karya penulis Khrisna Pabichara. Novel berjenis fiksi ini merupakan
karya nya yang terinspirasi dari kisah kehidupan masa kecil Dahlan Iskan. Khrisna
Pabichara bukan orang baru lagi dalam dunia kepenulisan Indonesia. Ia adalah
seorang penulis yang sudah banyak membukukan karyanya. Sepatu dahlan adalah
buku ke-14 yang ia hasilkan. Bagian pertama dari trilogi Sepatu Dahlan ini
bercerita mengenai kehidupan dahlan kecil sampai SMA. Novel ini dibuka dengan
prolog tentang kematian. Berkisah pada masa kini saat Dahlan operasi, kemudian
ia berhalusinasi dan flashback ke
masa lalu dan mengalirlah cerita Dahlan semasa kecilnya. Gaya bercerita serta
alur yang memikat menjadi salah satu kelebihan novel ini. Bahasa yang digunakan
juga sederhana dan mudah dipahami tanpa menghilangkan sentuhan sastra ala penulis
yang kerap disapa dengan Daeng Marewa ini.
Namun jika dibandingkan dengan novel sejenis
yang terbit dalam kurun waktu beberapa tahun ini, sebut saja tetralogi Laskar
Pelangi milik Andrea Hirata dan trilogi Negeri 5 Menara milik A.Fuadi, novel
ini terkesan tidak membawa hal-hal baru dan “biasa”. Mengangkat tema yang
hampir mirip untuk tidak dibilang sama, akan banyak kita temui kesamaan cerita
dengan novel Laskar Pelangi. Dalam novel Laskar Pelangi diceritakan mengenai
kehidupan Ikal dengan segala keterbatasannya untuk menempuh pendidikan, tentang
kisah cinta masa kecilnya, juga tentang prestasinya di sekolah. Begitu pula
akan kita temui hal-hal tersebut dalam kisah Dahlan di novel ini. Membaca
beberapa bagian dalam novel ini, saya malah membayangkan Ikal–nya Andrea Hirata
dan terlupa kalau ini adalah kisahnya Dahlan. Untuk selanjutnya akan lebih baik
jika penulis mengangkat hal-hal ataupun sisi lain dari kehidupan Dahlan Iskan
yang tidak biasa dan belum pernah diangkat oleh penulis novel-novel sejenis.
Seperti khas novel fiksi motivasi, banyak
pesan moral yang dibawa ke hadapan pembaca. Seperti dalam prolog pada halaman
5, “Tuhan, terserah Engkau sajalah!” doa yang sederhana tapi sarat makna. Sering
kita seolah “mendikte” Allah atas apa yang harus atau tidak harus terjadi dalam
hidup kita. Doa sederhana ini mengajarkan kita untuk pasrah dan yakin apa yang
Allah berikan, itulah yang terbaik. Selanjutnya pada halaman 31, “daripada
hidup bergelimang harta tapi tidak beriman, memang lebih baik hidup miskin tapi
beriman. Namun, kondisi terbaik , tentu saja, adalah kaya dan tetap beriman”. Kalimat
ini menyiratkan pesan bahwa menjadi kaya ataupun miskin, yang terpenting adalah
keimanan kita. Dengan menjadi kaya dan beriman, akan banyak sekali kemanfaatan
yang dapat kita berikan untuk orang-orang disekitar kita. Menjadi orang kaya
yang beriman penting diusahakan karena disebutkan dalam sebuah kalimat bijak
bahwa kefakiran itu dekat dengan kekafiran. Juga pada halaman 125, “takdir
selalu punya cara untuk menghadirkan kepedihan, dengan atau tanpa diminta”.
Dari kalimat sarat makna ini kita dipahamkan bahwa takdir, sepahit apapun itu,
jika Allah sudah kehendaki terjadi untuk kita, maka terjadilah. Penerimaan
ikhlas akan takdir baik maupun takdir yang buruk adalah kunci untuk ‘berdamai” dengannya.
Walaupun tergolong novel fiksi, setidaknya melalui novel ini pembaca
mendapat sedikit gambaran bagaimana dahulu Pak Dahlan Iskan menghabiskan masa
kecilnya dengan penuh kepedihan dan keprihatinan. Sebuah pesan yang coba
disampaikan penulis melalui kisah Dahlan dalam novel ini adalah terkadang kita
terjebak pada “impian semu” akan suatu hal atau benda-benda yang bersifat
keduniaan. Padahal, setelah ‘impian’ tersebut kita dapatkan, lalu apa? Masih ingin
lebih dan lebih lagi. Sepatu dan sepeda, mungkin saja itu hanya impian semu
bagi Dahlan kecil yang sederhana. Bukan itu yang sebenarnya ia cari, ia
inginkan. Lebih dari itu, ia memimpikan kehidupan yang layak bagi keluarganya,
sehingga ia tak perlu berperih-perih menahan rasa lapar. Ia memimpikan pendidikan
yang memadai, rizqi yang halal, yang kesemuanya hanya dapat diraih dengan
kesabaran, keuletan dan pendidikan. Teringat satu pesan yang disampaikan oleh
Pak Dahlan Iskan saat peluncuran film Sepatu Dahlan pada acara Islamic Bookfair
2014 di Istora Senayan bulan Maret lalu, “miskin bernartabat, kaya bermanfaat”.
Untuk pembaca yang terinspirasi oleh perjuangan hidup Pak Dahlan, jangan sampai
melewatkan novel sarat makna yang pada tahun ini difilmkan dan saat ini sedang
diputar di bioskop-bioskop Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar