Senin, 28 April 2014

Menyusuri jejak Sepatu Dahlan (Review Buku Sepatu Dahlan)

Judul buku     : Sepatu Dahlan
Penulis          : Khrisna Pabichara
Penyunting     : Suhindrati Shinta & Rina Wulandari
Penerbit         : Noura Books
Tahun terbit   : 2012
Tebal buku    : xviii + 369 halaman
ISBN            : 978-602-9498-24-0
Harga           : Rp 62.500

…Sungguh, aku ingin mengatakan bahwa selama ini tak ada waktu luang agar aku bisa belajar dengan tenang : setelah shalat shubuh sudah harus menyabit rumput, terus ke sekolah, setelahnya meyabit rumput lagi, lalu belajar mengaji, ngangon domba, dan tatkala malam sudah menyelimuti Kebon Dalem tak mungkin lagi belajar karena gelap-gulita …(hal.19)

Dahlan kecil, terlahir dari keluarga sangat sederhana di sebuah kampung bernama Kebon Dalem. Daerah Kebon Dalem merupakan kampung kecil yang dipenuhi oleh barisan ladang tebu, di Kecamatan Takeran Kabupaten Magetan. Keterbatasan mengajari Dahlan kecil untuk hidup dengan penuh penerimaan dan kesabaran. Dahlan hidup bersama ayahnya yang pendiam, bijaksana dan tegas serta ibunya yang ulet, penyabar dan pintar membatik dan adiknya yang usianya tidak terpaut jauh, Zain. Setiap hari Dahlan harus berjalan kurang lebih 6 kilometer untuk mencapai sekolahnya di Pesantren Takeran. Dengan tanpa sepatu tentunya. Kaki lecet dan rasa lapar menjadi teman setia yang menemani perjalanannya menuntut ilmu sejauh 6 kilometer. Dahlan mempunyai dua hal yang sangat diimpikannya, impian yang selalu terlintas dibenaknya sejak ia mulai bersekolah : sepatu dan sepeda.




Dahlan yang pada saat itu duduk di bangku tsanawiyah (sekolah menengah pertama) harus bersabar ketika di umurnya yang masih belia harus menghadapi kenyataan bahwa ibunya, karena suatu penyakit yang tidak ia ketahui, harus meninggalkannya, adik dan bapaknya untuk selamanya. Meninggalkan rasa pilu yang mendalam untuk anak seumurnya. Ia bukan hanya harus menjadi kakak bagi adiknya, tapi harus menggantikan posisi ibu bagi adiknya karena semenjak kepergian ibunya, ayahnya lebih sering pergi ke ladang ataupun bekerja dan jarang pulang.


Waktu adalah penyembuh terbaik bagi kesedihan. Hari berganti hari, Dahlan mulai kembali disibukkan dengan sekolahnya. Kepiawaiannya dalam bermain bola voli mengantarkannya menjadi ketua tim bola voli Pesantren Takeran. Hingga suatu hari keteguhan Dahlan untuk tetap “nyeker” (tidak bersandal dan bersepatu) harus di uji ketika diadakan turnamen bola voli antar sekolah se-kecamatan. Parahnya, panitia mewajibkan setiap peserta untuk memakai sepatu. Bagaimana akhirnya nasib tim bola voli sekolahnya? Bagaimana pula kisah masa kecilnya bersama sahabat-sahabatnya? Juga persahabatannya dengan Kadir yang pendiam, yang menyimpan kisah hidup pilu terkait dengan peristiwa pemberontakan Laskar Merah PKI Madiun 1948?

Sepatu Dahlan merupakan buku pertama dari trilogi novel Sepatu Dahlan, Surat Dahlan dan Senyum Dahlan (awalnya Kursi Dahlan) karya penulis Khrisna Pabichara. Novel berjenis fiksi ini merupakan karya nya yang terinspirasi dari kisah kehidupan masa kecil Dahlan Iskan. Khrisna Pabichara bukan orang baru lagi dalam dunia kepenulisan Indonesia. Ia adalah seorang penulis yang sudah banyak membukukan karyanya. Sepatu dahlan adalah buku ke-14 yang ia hasilkan. Bagian pertama dari trilogi Sepatu Dahlan ini bercerita mengenai kehidupan dahlan kecil sampai SMA. Novel ini dibuka dengan prolog tentang kematian. Berkisah pada masa kini saat Dahlan operasi, kemudian ia berhalusinasi dan flashback ke masa lalu dan mengalirlah cerita Dahlan semasa kecilnya. Gaya bercerita serta alur yang memikat menjadi salah satu kelebihan novel ini. Bahasa yang digunakan juga sederhana dan mudah dipahami tanpa menghilangkan sentuhan sastra ala penulis yang kerap disapa dengan Daeng Marewa ini.

Namun jika dibandingkan dengan novel sejenis yang terbit dalam kurun waktu beberapa tahun ini, sebut saja tetralogi Laskar Pelangi milik Andrea Hirata dan trilogi Negeri 5 Menara milik A.Fuadi, novel ini terkesan tidak membawa hal-hal baru dan “biasa”. Mengangkat tema yang hampir mirip untuk tidak dibilang sama, akan banyak kita temui kesamaan cerita dengan novel Laskar Pelangi. Dalam novel Laskar Pelangi diceritakan mengenai kehidupan Ikal dengan segala keterbatasannya untuk menempuh pendidikan, tentang kisah cinta masa kecilnya, juga tentang prestasinya di sekolah. Begitu pula akan kita temui hal-hal tersebut dalam kisah Dahlan di novel ini. Membaca beberapa bagian dalam novel ini, saya malah membayangkan Ikal–nya Andrea Hirata dan terlupa kalau ini adalah kisahnya Dahlan. Untuk selanjutnya akan lebih baik jika penulis mengangkat hal-hal ataupun sisi lain dari kehidupan Dahlan Iskan yang tidak biasa dan belum pernah diangkat oleh penulis novel-novel sejenis.

Seperti khas novel fiksi motivasi, banyak pesan moral yang dibawa ke hadapan pembaca. Seperti dalam prolog pada halaman 5, “Tuhan, terserah Engkau sajalah!” doa yang sederhana tapi sarat makna. Sering kita seolah “mendikte” Allah atas apa yang harus atau tidak harus terjadi dalam hidup kita. Doa sederhana ini mengajarkan kita untuk pasrah dan yakin apa yang Allah berikan, itulah yang terbaik. Selanjutnya pada halaman 31, “daripada hidup bergelimang harta tapi tidak beriman, memang lebih baik hidup miskin tapi beriman. Namun, kondisi terbaik , tentu saja, adalah kaya dan tetap beriman”. Kalimat ini menyiratkan pesan bahwa menjadi kaya ataupun miskin, yang terpenting adalah keimanan kita. Dengan menjadi kaya dan beriman, akan banyak sekali kemanfaatan yang dapat kita berikan untuk orang-orang disekitar kita. Menjadi orang kaya yang beriman penting diusahakan karena disebutkan dalam sebuah kalimat bijak bahwa kefakiran itu dekat dengan kekafiran. Juga pada halaman 125, “takdir selalu punya cara untuk menghadirkan kepedihan, dengan atau tanpa diminta”. Dari kalimat sarat makna ini kita dipahamkan bahwa takdir, sepahit apapun itu, jika Allah sudah kehendaki terjadi untuk kita, maka terjadilah. Penerimaan ikhlas akan takdir baik maupun takdir yang buruk adalah kunci  untuk ‘berdamai” dengannya.

Walaupun tergolong  novel fiksi, setidaknya melalui novel ini pembaca mendapat sedikit gambaran bagaimana dahulu Pak Dahlan Iskan menghabiskan masa kecilnya dengan penuh kepedihan dan keprihatinan. Sebuah pesan yang coba disampaikan penulis melalui kisah Dahlan dalam novel ini adalah terkadang kita terjebak pada “impian semu” akan suatu hal atau benda-benda yang bersifat keduniaan. Padahal, setelah ‘impian’ tersebut kita dapatkan, lalu apa? Masih ingin lebih dan lebih lagi. Sepatu dan sepeda, mungkin saja itu hanya impian semu bagi Dahlan kecil yang sederhana. Bukan itu yang sebenarnya ia cari, ia inginkan. Lebih dari itu, ia memimpikan kehidupan yang layak bagi keluarganya, sehingga ia tak perlu berperih-perih menahan rasa lapar. Ia memimpikan pendidikan yang memadai, rizqi yang halal, yang kesemuanya hanya dapat diraih dengan kesabaran, keuletan dan pendidikan. Teringat satu pesan yang disampaikan oleh Pak Dahlan Iskan saat peluncuran film Sepatu Dahlan pada acara Islamic Bookfair 2014 di Istora Senayan bulan Maret lalu, “miskin bernartabat, kaya bermanfaat”. Untuk pembaca yang terinspirasi oleh perjuangan hidup Pak Dahlan, jangan sampai melewatkan novel sarat makna yang pada tahun ini difilmkan dan saat ini sedang diputar di bioskop-bioskop Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar