(Ini adalah tulisan yang saya buat sekitar tahun 2011. Pada saat
itu kami mendapat tugas dari murabbi untuk membuat cerita maupun tulisan
bertema "Tarbiyah". Akhirnya saya memilih untuk membuat cerita
singkat ini-yang saya rasakan masih banyak kekurangan disana sini-).
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.35. Syifa mempercepat langkahnya
dan memburu dirinya untuk segera sampai di halaman belakang kampusnya. Tak
peduli rok yang dia pakai agak sedikit menghambat langkahnya, ia coba sedikit
(tenang saja, hanya sedikit) mengangkat roknya agar langkahnya bisa lebih
cepat. Dia tengok kanan-kiri, “Alhamdulillah aman”, pikirnya. Syifa masih terus
saja mempercepat langkahnya. Minggu ini sudah kesekian kalinya syifa terlambat
menghadiri agenda wajib+rutinnya. Jarak antara Sekret Pencinta Alam dengan
belakang kampus siang ini terasa lebih jauh dari biasanya bagi syifa yang
terlambat. “oh my God, mau alasan apalagi aku kali ini. Dalam 3 bulan
ini, udah berapa kali aja aku telat! Ga enak banget rasanya
sama Mbak Huda dan teman-teman”, kata Syifa dalam hatinya.
Akhirnya Syifa sampai juga di halaman belakang kampus. Siang itu
belakang kampus terlihat ramai. Banyak mahasiswa yang berkumpul di situ. Ada
yang sedang mengadakan rapat, ada yang sedang duduk bersantai menikmati Oksigen
yang dengan sukarela diberikan oleh pepohonan, ada juga yang terlihat
menyendiri. Lupakan tentang itu! Kali ini Syifa sibuk mengedarkan pandangannya.
Ke kiri, ke kanan, belakang, depan, balik lagi ke kiri, dan aha! “itu
sudara-saudaraku!”, teriak Syifa dalam hati, girang. Syifa segera bergegas,
hampir sedikit berlari, menghampiri teman-temannya yang sedari tadi menunggu
kedatangannya untuk memulai agenda rutin+wajib yang diadakan tiap minggu itu.
Dengan hadirnya Syifa, lengkap sudah lingkaran itu terbentuk. Sayup sayup
terdengar suara basmallah dilantunkan dan agenda wajib+rutin itupun dimulai.
Syifa terlihat sangat menikmatinya. Menikmati semuanya.
Syifa baru 4 bulan ini mengikuti agenda wajib+rutin yang diadakan
di halaman belakang kampusnya itu. Agenda wajib+rutin yang seiring dengan
berjalannya waktu dia baru tahu namanya adalah Liqo’. Sebelumnya Syifa tak
pernah tahu itu. Jangankan Liqo’, agenda tutorial yang pada semester awal
diwajibkan di kampusnya saja dia jarang terlihat. Bukan karena Syifa malas
hadir atau memilih menghadiri agenda yang lain, sama sekali tidak! Usut punya
usut, ternyata pada saat itu Syifa sedang cuti sakit. Jatuh dari ketinggian 300
meter mengharuskan Syifa beristirahat cukup lama di rumah. Maklumlah, gejolak
masa muda. Syifa sangat hobi memanjat tebing. Di kampus, Syifa tercatat
sebagai mahasiswi yang aktif di bidang panjat-memanjat dan daki-mendaki. Itulah
jiwanya.
Selama 4 bulan mengikuti liqo’, memang belum terlihat perubahan
pada diri Syifa. Baik dalam penampilan fisik maupun intonasi suaranya (yang
bisa buat telinga orang yang ada di sampingnya bergetar saking kerasnya).
Celana dan sandal gunung, t-shirt+jaket, dipadu dengan jilbab kaos
sederhana, masih menjadi pakaian kebesarannya sehari-hari. Syifa tak pernah
sedikitpun memikirkan persoalan itu. Teman-temannya di kelas sering meledeknya
dengan menjulukinya “pemanjat tebing yang Nyantri”. Syifa memang cuek. Tak
sedikitpun ledekan dari teman-temannya itu masuk ke telinganya.
Syifa sangat menikmati liqo’nya. Hal itu terlihat dari selalu ada
saja pertanyaan yang dia ajukan kepada Mbak Huda, mentor Liqo’nya. Couriousity-nya
kepada penciptanya, kepada agamanya, sangat tinggi. Syifa memang bukan
mbak-mbak aktivis yang selalu rajin turun ke jalan, meneriakkan keadilan dan
kebenaran, mbak-mbak aktivis yang selalu terlihat di masjid kampusnya yang
entah itu sedang mengaji maupun mengkaji, Syifa bukan itu. Syifa hanya
pemanjat. Hanya itu yang dia senangi. Dan mungkin hanya itu kehidupannya. Tapi
rasa ingin tahunya yang luar biasa akan Sang Pencipta, menjadikan Syifa berbeda
dengan mahasiswa lainnya. Rasa ingin tahu yang melabuhkan Syifa ke dalam sebuah
lingkaran pengetahuan. Lingkaran pengetahuan yang dikomandoi oleh seorang Mbak
Huda, “komandan” yang sangat sabar dalam membimbingnya menuju penciptanya.
Lingkaran pengetahuan yang diawaki oleh “prajurit-prajurit ukhuwah” yang selalu
siap siaga selalu ada ketika Syifa butuh untuk berbagi, menumpahkan kekesalan
atau bahkan menyiapkan telinganya untuk memerah mendengarkan suara Syifa yang
menggelegar bak petir di siang hari.
Bersama saudara-saudara di “lingkarannya”, Syifa ingin membaikkan
kehidupannya. Syifa sedang membangun dalam dirinya bahwa kehidupan adalah
tarbiyah itu sendiri. Dia tidak pernah tahu akan sampai kapan dia berada di
lingkaran itu, yang dia tahu, waktu hidupnya adalah Longlife Tarbiyah.
Tarbiyah yang tak pernah terhenti. Entah itu dalam bentuk lingkaran, dialog,
monolog, kajian, pelatihan, seminar, bangku kuliah, Syifa tak pernah peduli.
Dia hanya ingin belajar, banyak belajar, dan terus belajar.
0 komentar:
Posting Komentar