Kamis, 07 Juli 2016

Kenapa Merantau? : Re-thinkin'

Jess...Jess..Jess...
Tuut tuut... 
Tuut tuut...

#Eh, malah Thomas Mode On *grinning

Deru suara roda kereta yang bergelinjang diatas rel seperti jadi backsound yang ga indah kala diri ini memikirkan jawaban atas sesuatu. Sesuatu yang terus meminta jawaban tiap tahun saya kembali ke rumah, mudik.

Untuk apa jauh-jauh bekerja melintas lautan menempuhi daratan, sementara mungkin saja di tanah kelahiran sendiri ada buanyak pekerjaan yang bisa saya dapatkan?! Tak perlu bersusah, tak perlu berpayah hanya untuk sesuatu yang bernama "RUMAH". 

Kini, saya sudah duduk nyaman dirumah, menghabiskan makanan-makanan terbaik yang sudah orangtua saya siapkan untuk kepulangan anaknya ini. Perjalanan darat dan laut yang memakan waktu hampir 34 jam! Saya tempuhi hanya demi menghadirkan diri kala takbir berkumandang di ujung negeri. Tak usah ditanya bagaimana rasanya; capek, pegal, gerah, tenggorokan kering, bibir pecah-pecah, sariawan dan panas dalam #heleh malah ngiklan 

Perjalanan mudik selalu menuntut rasa sabar. Berdesakan dengan ribuan oranglain yang juga menuju rumah, yang juga ingin menghadirkan dirinya saat takbir berkumandang. Duduk pegal 45 derajat dalam kereta yang akan membawa melintas Jawa selama 17 jam. Belum lagi mencari bus untuk membawa ke ujung barat Pulau Jawa, Pelabuhan Merak. Jalan sana jalan sini, gotong bawaan berat. Dan masih harus bersabar kembali mengantri membeli tiket penyebrangan Merak - Bakauheni, berjalan tersuruk melintasi shelter menuju kapal. Lalu, terombang-ambing di atas kapal selama 2,5 sampai 3 jam, itupun bisa lebih jika kapal masih harus mengantri sandar. Belum berhenti disitu, saya harus mencari bus lagi untuk mengantar diri menuju Kota Bandarlampung tercintah! Namun, jalan berlelah-lelah itulah jalan yang sudah saya pilih. Dan saya bersyukur. Dan Terima Kasih Ya Allah.

Hampir setiap pulang Bapak selalu bertanya tentang teman seangkatan yang ada di Lampung; kerja dimana? gajinya berapa? Lalu akhirnya akan sampailah pada kalimat, "Ga cari kerja disini aja tah, lebih deket. Kalo kenapa-kenapa juga ada keluarga".

Tawaran menarik hati pun kadang menghampiri; seperti misalnya kemarin sore seorang kakak sepupu berkata pada saya, "gaji kamu disana berapa? kalo ga sampe 2 juta mah udah disini aja. Tempat Mas lagi cari pegawai, lumayan, nanti kamu bisa berangkat umroh jugak". Terdengar menarik hati, bukan?!

Entahlah. Saya selalu berpikir, bahwa bekerja bukan hanya persoalan gaji. Ya, memang tidak dapat saya pungkiri bahwa kita selalu butuh uang, butuh gaji yang mencukupi. Sedikit bukan berarti tidak mencukupi, khan?! Teringat petuah salah seorang atasan kala itu; mintalah gaji yang berkah, bukan yang banyak. Karena yang berkah akan selalu dapat mencukupi kebutuhan kita yang begitu banyak.

Paman, kakak kandung, beberapa kerabat memiliki posisi strategis. Bisa saja saya tinggal meminta mereka untuk mencarikan pekerjaan di tanah lahir ini. Tapi lagi-lagi, sepertinya Allah sudah ciptakan hati ini untuk mengunjungi tempat-tempat jauh. Ianya hanya akan tenang ketika 'diajak' bepergian kesana kemari, tidak stagnan pada satu tempat.

Saya saat ini, dengan banyak pengalaman dan pemikiran baru, adalah hasil merantau. Hasil dari bertemu orang-orang dari penjuru dan pelosok negeri. Hasil dari berkunjung sana dan sini. Hasil dari pergi jauh dari rumah. Hasil dari kerelaan meninggalkan orangtua tercinta, saudara, kerabat, teman-teman terbaik.

Ya, Insya Allah nanti pada saatnya saya akan kembali; pulang. Namun selama keyakinan akan doa-doa orangtua (terutama ibu) akan terus mendekap erat di bumi manapun saya berada, tekad ini akan selalu teguh untuk mendatangi negeri-negeri jauh.

Tak rugi pun merantau.
Seronok seronok seronok!

0 komentar:

Posting Komentar