(Ini kisah saya dan Ratih saat di Pare Kampung Inggris. Late post. Baru bisa kelar sekarang. Let's enjoy, huhu)
Pertengahan tahun 2013 silam merupakan awal perjalanan saya bersama seorang teman (Ratih) dalam rangka menggapai impian-impian kami (cie, bahasanya...ngerih!). Tekad yang kuat untuk merantau dan demi masa depan pendidikan kami yang lebih baik, kami nekat meninggalkan kemapanan dan keluarga. Tujuan pertama kami sudah jelas : Kampung Inggris di Pare, Kediri. Berbekal sedikit informasi yang kami dapat dari internet, kami menghubungi tempat kursus yang akan kami tuju di Pare. Kami sempat bertanya banyak hal sebelum akhirnya fix memutuskan untuk les dimana dan berangkat tanggal berapa.
Pertengahan tahun 2013 silam merupakan awal perjalanan saya bersama seorang teman (Ratih) dalam rangka menggapai impian-impian kami (cie, bahasanya...ngerih!). Tekad yang kuat untuk merantau dan demi masa depan pendidikan kami yang lebih baik, kami nekat meninggalkan kemapanan dan keluarga. Tujuan pertama kami sudah jelas : Kampung Inggris di Pare, Kediri. Berbekal sedikit informasi yang kami dapat dari internet, kami menghubungi tempat kursus yang akan kami tuju di Pare. Kami sempat bertanya banyak hal sebelum akhirnya fix memutuskan untuk les dimana dan berangkat tanggal berapa.
Kejadiannya mirip saat awal tahun 2012 lalu saat kami akan magang ke Perpustakaan UI. Saat itu kami sedang mengelola ruang baca jurusan adm negara. Saat magang ke UI, hambatannya adalah belum pernah tahu sama sekali bagaimana perpus UI, selain itu amanah di organisasi cukup berat untuk ditinggal (teman saya sebagai wakil ketua umum dan saya sebagai bendahara umum). Pun sama halnya dengan rencana ke Kampung Inggris ini. Belum pernah sama sekali tahu di belahan bumi sebelah mana itu Pare, dan juga ada amanah besar mengelola perpustakaan SD yang sangat dipercayakan pada kami (mulai dari titik nol). Awalnya agak sedikit bimbang, namun kebulatan tekad yang kami coba kumpulkan berdua menjadi kekuatan besar yang mendorong kami untuk terus maju. Ciaaat! (walau badai menghadang, ingatlah ku kan slalu setia... Ada Band mode On).
Berbekal doa dan dukungan serta semangat dari keluarga, teman dan dosen, tengah bulan Juni kami berangkat ke Kampung Inggris, Kediri. Sebelum berangkat, kami sudah menghubungi tempat les yang menjadi tujuan kami. Lewat komunikasi via BBM, kami dipandu untuk sampai ke Kampung Inggris. Saat malam keberangkatan, ada kejadian yang agak melelehkan hati yaitu ketika keluarga melepas keberangkatan kami di depan rumah. Uuuh...rasanya berat sekali! Ingin rasanya membatalkan saja rencana untuk pergi. Tapi kami sadar, itu hanya godaan sejenak. Godaan atas kebulatan tekad kami, sejauh mana kami mampu melawannya. Huhuhu (beneran sedih).
Perjalanan kami lalui dengan menggunakan bus Damri sampai Jakarta (Rp 115.000), kemudian dilanjut dengan menggunakan kereta Brantas jurusan Pasar Senen – Kediri (Rp 65.000). Entah karena apa, saya yang biasanya jarang mabuk, malam itu saat perjalanan dari Lampung ke Jakarta, mabuk hebat (sepertinya kualat karena ngeledekin Ratih bakal mabuk or karena masih berat hati melepas keluarga). Mabuk saya bertambah hebat (bak raja mabuk dalam film-film kolosal China) ketika naik kapal laut menyeberangi Selat Sunda. Ya Allah rasanya seperti mau menghadap haribaan-Mu. Karena tidak ada tenaga, daya dan upaya lagi, kami menghubungi teman yang sedang melanjutkan kuliahnya di Jakarta. Kami mampir di kosannya untuk sekedar me-recharge tenaga. Kereta kami berangkat agak sore, jadi sepanjang pagi sampai siang menjelang sore, kami bisa istirahat, sekaligus memulihkan diri dari mabuk berkepanjangan (kemarau kalee).
Perjalanan kami lalui dengan menggunakan bus Damri sampai Jakarta (Rp 115.000), kemudian dilanjut dengan menggunakan kereta Brantas jurusan Pasar Senen – Kediri (Rp 65.000). Entah karena apa, saya yang biasanya jarang mabuk, malam itu saat perjalanan dari Lampung ke Jakarta, mabuk hebat (sepertinya kualat karena ngeledekin Ratih bakal mabuk or karena masih berat hati melepas keluarga). Mabuk saya bertambah hebat (bak raja mabuk dalam film-film kolosal China) ketika naik kapal laut menyeberangi Selat Sunda. Ya Allah rasanya seperti mau menghadap haribaan-Mu. Karena tidak ada tenaga, daya dan upaya lagi, kami menghubungi teman yang sedang melanjutkan kuliahnya di Jakarta. Kami mampir di kosannya untuk sekedar me-recharge tenaga. Kereta kami berangkat agak sore, jadi sepanjang pagi sampai siang menjelang sore, kami bisa istirahat, sekaligus memulihkan diri dari mabuk berkepanjangan (kemarau kalee).
Setelah cukup beristirahat dan menyiapkan segalanya, kami menuju ke Stasiun Pasar Senen untuk memulai perjalanan pertama kami membelah Pulau Jawa (hwaaa...). Alhamdulillah kami ga mabuk pas naik kereta. Stabil bray! Perjalanan kurang lebih 15 jam kami tempuh dengan sehat wal afiat dan penuh kebahagiaan (lebay ih). Setelah menempuh perjalanan semalaman, kami sampai di Stasiun Kertosono, Nganjuk. Disana kami menunggu tukang ojek yang sudah dipesankan oleh tempat kursus yang akan kami tuju. Tidak berapa lama menunggu akhirnya dua bapak ojek membawa kami melintasi Kota Nganjuk menuju ke Pare. Sepanjang perjalanan, pedesaan yang asri dan hijau sungguh menyejukkan mata. Dalam perjalanan itu saya dan Ratih sempat berpandangan penuh arti “akhirnya kita sampai”.
Kampung Inggris merupakan sebutan bagi 3 desa di Kecamatan Pare, Kediri, yang disana menjamur tempat les bahasa Inggris. Terdapat ratusan tempat les yang bisa jadi pilihan asik untuk memperdalam English or another languages such as Arabic, Japanese or Korean (untuk lebih jelasnya monggo googling mengenai tempat les di Pare). Biaya kursus cukup terjangkau. Begitu juga dengan biaya hidup disana (asal jangan ngeluyur dan foya-foya aja disana, sewajarnya).
Kami mengambil les di UNICEF. Letaknya persis di pertigaan Singgahan, Pare. Disana, Kami mendapat kursus selama 4 kali dalam sehari (senin s/d jumat). Materi yang kami dapat adalah Grammar, Vocabularies, Speaking dan Pronounciation. Cara pembelajaran di sini (seperti umumnya tempat les di Pare) bersifat santai dan bebas, tapi sopan. Tempat belajarnya pun lesehan. Namun ternyata itulah yang membuat peserta les menikmati proses pembelajaran. Disana kami seperti tidak sedang “belajar”, namun seperti “liburan”.
Biasanya di setiap akhir pekan (les libur) kami bersepakat dengan para tutor untuk melancong. Simpang 5 Gumul menjadi “tempat wajib” peserta les dari Kampung Inggris untuk disambangi. Hampir setiap pekan para tutor membawa peserta les ke tempat yang menjadi Arch De Triomphe-nya Kediri ini. Selain itu, kami berkesempatan pula ngebolang ke Gunung Kelud dan pabrik Gudang Garam di Kediri. Tugu Garuda yang letaknya tidak begitu jauh dari Kampung Inggris juga sering menjadi objek foto-foto peserta les. Begitu juga dengan Alun-alun Pare dan Alun-alun Kota Kediri. Jika hari cerah, mengelilingi Kampung Inggris dengan sepeda gowes maupun becak gowes juga dapat menjadi pilihan yang tepat.
Hal yang tidak kalah menyenangkan dari les di Kampung Inggris Pare adalah kita (insyaAllah) akan bertemu teman-teman baru dari penjuru Indonesia (apalagi saat musim liburan). Disana, kami bertemu dengan adik-adik dari Blitar, Sidoarjo, Mojokerto, Solo, Jakarta, Cirebon, juga rekan dari Medan, Tangerang, Lombok bahkan Thailand. Kami banyak bertukar cerita tentang daerah masing-masing. Begitu indah Allah menciptakan kita yang berbeda suku, bahasa, adat, kebudayaan.
Kampung Inggris yang penuh cerita dan pengalaman. Salah satu alasan kuat kami pergi kesana adalah perkataan seorang dosen (Ibu Ida Nurhaida) yang terus terngiang pada saat beliau sedang mengajar di salah satu mata kuliah. Beliau mengatakan bahwa kemampuan bahasa asing merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pustakawan agar bisa bersaing di masa depan. Mulai saat itu terbentuk keinginan kami untuk menjadi lebih baik, salah satunya memperdalam bahasa Inggris. Salah satunya ya disini, di Kampung Inggris (sekalian liburan bro). Kelak beberapa bulan kemudian karier bekerja kamipun ternyata dimulai dari sini.
Kini saya mulai merasakan hikmah dari syair Imam Syafi’i yang pernah saya baca di salah satu buku favorit saya, karangan A Fuadi (Negeri 5 Menara), “Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang...”. Walau perjalanan untuk memulai langkah pertama terasa sangat berat dan banyak godaan serta ketakutan bagaimana nanti di perantauan, hanya yakinlah bahwa Allah selalu menyertai kita. Apalagi ditambah doa orang tua. Walaupun kita berada di tempat terjauh di ujung dunia sana, doa orangtua selalu dapat menjangkau kita. Yakinlah!
Merantaulah, untuk kemudian kembali. Merantaulah, untuk masa depan yang lebih baik.
Merantaulah, karena di penjuru Bumi Allah ini bertebaran hikmah yang akan menjadikan dirimu pribadi lebih bijak dan lebih terbuka.
Merantaulah...
0 komentar:
Posting Komentar