Kamis, 01 Juni 2017

Me Inspired By: The Kid With Sincere Heart

Enak (ya) menjadi seorang yang suka menulis. Kenapa? karena jika ia sedang bersedih kemudian ia tumpahkan kesedihan itu dalam tulisan, maka kesedihannya akan menguap seiring tulisan-tulisan yang tercipta, membuat hati lega. Jika ia sedang berbahagia kemudian ia tuliskan, maka ia 'abadikan' kebahagiaannya itu; sesuatu yang membuat hatinya berbunga, yang dapat ia kenang sepanjang masa. Sama dengan beberapa seri tulisan kali ini, tentang mereka yang menginspirasi. Entah orang-orang ini akan terus membersamai kehidupanku atau tidak, aku hanya ingin dunia tahu, bahwa mereka pernah membawa hal-hal baik yang merubahku.

***

Bagaimana seseorang ini menginspirasi kehidupanku???
Ketika kuceritakan bagaimana seseorang ini menginspirasiku, ini bukan tentang APA yang dilakukannya padaku, tapi tentang PERASAAN yang Allah beri, yang Allah timbulkan, ketika bertemu dengannya, bersama dengannya, ketika menjalani hari-hari dengannya. This isn't about things, but feelings.

Jujur saja awal mengenalnya, aku melihatnya hanya sebatas pada, ia seseorang yang biasa saja –kebanyakan. Yang hobinya main. Yah kebanyakan lah. Rata-rata. Belajar secukupnya, dapat hasil yang biasa-biasa saja, sudah. Kemudian pandangan itu berubah drastis setelah tak sengaja Allah memperlihatkan sebuah episode kehidupannya lewat sesuatu yang kubaca.

Semenjak itu pandanganku berubah atasnya! Ia pekerja keras. Pembelajar yang giat, juga cerdik. Ia tidak tahu jawaban pasti dari sebuah pertanyaan, namun ia tahu bagaimana cara menemukan jawaban atas pertanyaan. Mengerti yang kumaksud? Suatu hari nanti ingin kuceritakan pada anakku jika ia malas belajar, bahwa umminya ini pernah mengenalnya; mengenal seseorang yang tak mau kalah oleh keadaan sebelum benar-benar memperjuangkannya. Kelak akan kuceritakan bagaimana seseorang ini tetap bertahan ditengah keterbatasan pikir, menghadapi kerasnya dunia akademik, namun ia terus melaju! Ia bagai srikandi yang akan terus bertempur sampai titik darah penghabisan. Walau pada akhirnya karena giatnya ini, aku akan 'diabaikan', bahkan berhari-hari. Tak masalah selama ia selalu dalam doa-doaku, begitupun sebaliknya. Dan aku akan dengan sangat ikhlas memberikan waktu untuknya sendiri, tanpa kuganggu.


Aku percaya ia adalah seorang istimewa. Ia seorang yang baik, tulus, hangat. Aku tidak menyimpulkan itu dari tulisan-tulisannya, dari bagaimana humble-nya ia menghadapi dan 'meladeni' orang-orang dalam tulisannya, bukan dari itu semua. Aku dapat melihat itu, dari 'matanya'. Mata yang selalu membuatku menjadi penggemarnya. Big fans, you know. Kurasa cukuplah beberapa perjalanan yang kulakukan dengannya untuk mengenalnya, mengenali hatinya. Merasakan kebaikan dan ketulusan hatinya.

Entah bagaimana harus kujelaskan, namun aku benar-benar bisa merasai hatinya. Aku nyaman berada didekatnya, juga tak masalah dengan sifat-sifatnya. Prinsip-prinsip hidup yang ia terapkan, cocok denganku. Dibanding merasa terganggu dengan sifat-sifat 'bebalnya', aku lebih merasa terinspirasi dengan sifat-sifat baik dan tulus yang spontan ia lakukan.

Ia Inspirasiku untuk menjadi cuek, menjadi tidak peduli. Yang paling penting, bukan apa yang orang katakan tentangmu, tapi bagaimana kamu menjalani hidup, usahamu dalam melakukan sesuatu, hanya Allah yang tahu itu. Terserah orang lain berkata apa.

Berpuluh kali hatiku ragu, maka beratus kali pula Allah akan memantapkan hatiku akannya. Jikapun seluruh dunia membencinya, maka dengan izin Allah, dengan kekuatan dari Allah, tak berkurang rasa sayangku untuknya. Aku, yang akan terus ada (selain orangtua dan keluarganya, tentu) saat semua dunia meninggalkannya. Aku yang akan tetap menjadi 'yang nyata' ditengah dunia mayanya.

Aku tahu ia memiliki banyak dunia yang aku tidak tahu. Aku tidak peduli. Tak pernah. Karena aku yakin, dunia yang saat ini ia bolehkan aku masuki, adalah dunia aselinya (the real world). Dan terima kasih untuk itu.

She treats me how to do somethin' for someone who you love...

Rasa berkasih sayangku padanya, mendorongku untuk melakukan sesuatu. Bahwa rasa sayang, bukan hanya kata yang kau utarakan, namun ia juga gerak yang kau lakukan. Rasa sayangku padanya, dengan izin Allah, selalu sama (bahkan bertambah) seiring bertambahnya hari-hari yang kami lalui, seiring waktu yang Allah berikan untuk bersama, lewat percakapan-percakapan kami, lewat diskusi, lewat diam kami, lewat ngotot-ngototan kami. Melepasnya pulang dahulu dengan sekarang, masih sama rasanya. Melakukan perjalanan dengannya sampai saat ini, masih sama euforia-nya ketika kami melakukannya pertama kali.

Ia membuatku mencipta effort untuk menshalihkan diri, karena apa? karena  aku tahu, Allah hanya akan mengabulkan doa dari hamba-hamba yang beriman, yang shalih shalihah. Bukankah sebaik-baik pemberian adalah doa seorang pada saudaranya. Dan bagaimanalah doa itu akan Allah kabulkan jika kita tak menshalihkan diri terlebih dahulu?!

Selain berhasil menanamkan kebaikan-kebaikan, ia juga berhasil mereduksi beberapa kebiasaan kurang baik yang kumiliki; Entah itu karena rasa trauma yang ia berikan, atau lewat nasihat maupun lewat laku yang kulihat tiap kali bersamanya.

Terima kasihku padanya,
Terima kasih untuk membuatku tidak peduli pada gadget ketika memiliki percakapan dengannya. Terima kasih sudah membuat dirinya semenarik mungkin sehingga aku tidak perlu sibuk menscroll atas bawah newsfeed terbaru. Terima kasih untuk tidak membicarakan oranglain dalam setiap obrolan yang kami miliki, kecuali hal itu benar-benar esensial, butuh untuk dibahas.

Ditengah dunianya yang begitu 'ramai' dan 'virtual', terima kasih untuk menerimaku masuk dalam hidupnya. Mungkin ia lupa, namun aku ingat hari itu (5 November 2016), dimana ia mengirimiku sebuah pesan. Bukan pesan biasa; Pesan yang ingin mengabariku bahwa ia mendapat sebuah 'hasil manis' belajarnya selama satu tahun. Walau pada akhirnya ia tidak benar-benar mengabariku secara langsung, tapi tak mengapa. Dapat kurasakan, ada lebih banyak lagi momen dimana aku merasa ia benar-benar telah menerimaku masuk ke dalam kehidupannya.

Sampai detik ini dapat kukatakan sejujurnya bahwa, aku belum bisa mengerti hatinya. Terlalu banyak diam yang ia lakukan, terlalu banyak kata yang ia simpan mengenai bagaimana ia menjalani hari-harinya denganku. Mungkin itu tak penting untuknya, atau mungkin (malah) begitu penting sehingga tak perlu ia untuk membaginya dengan yang lain, denganku. Ah entahlah. Maafkan aku yang tak peka jika tak ada kata.

Kadang, jika sedang berkurang iman di hati ini, tak cukup sabar yang tersisa, aku mohon ketegasan pada-Nya... "Allah, sudahi saja jika memang ini tidak baik untuk hidup hamba, untuk akhirat hamba". Tapi nyatanya, hanya 'memori-memori baik' yang Allah kirimkan; yang mengelebat dalam pikiran, yang membuatku kembali yakin, bahwa ia bukanlah orang yang salah untuk kumeletakkan rasa sayang titipan Allah ini. Ya, aku hanya dititipi Allah. Karena jika mengandalkan yang kumiliki, i really don't have anything!. Aku tak punya apa-apa untuk kuberikan padanya. Ini bentuk kasih sayang Allah untuknya (yang qadarullah) dititipkan lewatku. Aku tidak punya kebaikan apa-apa untuknya, sungguh. Ini hanya dari Allah semata.

Maka ketika ia tak menganggapku sebagaimana aku menganggapnya, ia tak menyayangiku sebagaimana aku menyayangnya, ia tak memperlakukanku sebagaimana perlakuanku padanya, semoga hatiku tahu bahwa aku harus ikhlas...

Aku tahu pun sadar, ia bukanlah seorang sempurna. Sebagai seorang manusia yang tidak seperti Rasulullah yang ma'shum (terjaga dan dijaga dari dosa), ia juga melakukan ini dan itu yang mungkin Allah tidak ridha. Memiliki sikap ini dan itu, sifat buruk ini dan itu. Tapi aku tidak mau membahas itu, karena sungguh aku pun tak lebih baik darinya (siapalah aku berhak menilai sesama manusia). Namun aku yakin, biidznillah, seiring berjalannya waktu, ia akan belajar. Insya Allah. Belajar yang kumaksud disini adalah, mengambil hikmah dari setiap detail peristiwa yang ia alami dalam kehidupannya. Semakin banyak orang yang ia temui, semakin banyak 'badai' yang menerpa 'perahu kecilnya', sebanyak itu pula hikmah-hikmah baik (harusnya) mampu ia tangkap hingga merubahnya menjadi seseorang yang lebih dewasa. Dewasa yang kumaksud disini adalah bukan hanya tentang seseorang yang mampu menyelesaikan masalah-masalah, dan bahkan tanpa melibatkan orang lain. Tapi itu juga tentang menjadi bertanggungjawab dalam setiap langkah yang diambil, tahu bagaimana menempatkan diri, menyadari posisi diri, dan terutama, berakhlaq baik pada orang lain.

Terakhir, walaupun aku tahu ia 'tidak suka' aku mengucapkan ini, untuk pertama kalinya (lagi) akan kusampaikan padanya bahwa: aku menyayanginya karena Allah.

0 komentar:

Posting Komentar