Selasa, 16 April 2019

Jalan-jalan ke Ciwidey (2) : Keasyikan di Kawah Putih


EKSPEKTASI: Besok jam setengah 7 pagi kita berangkat dari penginapan ya. Ke Bukit Jamur dulu. Semakin pagi semakin eksotis ada kabut-kabutnya gitu. Abis itu baru ke Kawah Putih. Siap!

REALITA: Jam 6 pagi. Ada yang masih selimutan di atas kasur. Ada yang nyebar barang-barang ke segala penjuru kamar. Ada yang sibuk ini itu -_-

Kata Rasulullah, kalo mau kenal mengenali karakter teman lebih mendalam, salah satu caranya adalah dengan bepergian bersama. Saya bersama bocah-bocah inimah gausah diragukan lagi. Ade, Irul, Nita, udah tau bangetlah karakter masing-masing. Hampir 2 tahun tinggal serumah, bahkan ada yang lebih (Nita). Muka bangun tidur mereka gimana, muka kalo lagi sebel bete dan lain sebagainya. Kalo udah komitmen untuk berteman, ya harus terima segala macam sifat baik buruk, cocok ga cocok, nyebelin, jengkelin dan rupa-rupa sifat lainnya. Penerimaan terbaik atas semua sifat yang dimiliki oleh teman kita adalah, bersabar. Nah, saat melakukan traveling bersama inilah salah satu momen kesabaran kamu atas sifat teman, akan diuji. Pass or not?
***

Bangun pagi di udara dingin Ciwidey itu butuh perjuangan. Beberapa saat setelah adzan subuh, saya baru kebangun. Setelah itu, saya membangunkan Nita. Ade dan Irul lagi ga shalat. Selesai shalat, saya menyiapkan kamera dan lain-lain untuk menyambut mentari pagi di Ciwidey. Rencana sih mau bikin time lapse pake hape, eh cuacanya kurang cerah. Belum rizqi.

Karena sudah kesiangan dan jatah kami di Ciwidey hanya sampai jam 12 siang, kami harus merelakan rencana ke Bukit Jamur. Berarti tujuan hari ini hanya ke Kawah Putih saja. Sekitar jam setengah 8 pagi kami baru keluar dari penginapan. Menghirup udara khas dataran tinggi Ciwidey yang sudah tercampur dengan asap kendaraan yang berlalu lalang. Jangan bayangkan daerah ini seperti Dataran Tinggi Dieng yang masih kental nuansa perdesaannya (lebih mirip Batu). Apalagi daerah ini merupakan jalur utama menuju tempat-tempat wisata yang sudah terkenal seperti Ranca Upas, Kawah Putih, Situ Patenggang, Glamping Lake Side dan sebagainya. Ciwidey bakal padat banget kalo musim liburan tiba.

Asyik menikmati udara dingin dan hutan hijau di jalur menuju Kawah Putih, ga nyadar udah sampe parkiran aja. Cuma setengah jam lho dari penginapan kami. Masih pagi masih sepii. Kayaknya kami pengunjung bermotor pertama atau kedua di hari itu. Perasaan masih sepi, eh kok udah ada banyak angkot, pikir saya.


Area parkir Kawah Putih luas sekali. Bisa sampai puluhan bis parkir di sini. Selain itu, ada banyak warung makan dan oleh-oleh khas Ciwidey dan Bandung. Kalo pas kesana puagi dan belum sempat sarapan, bisa tuh mampir dulu di warung yang ada di situ. Oiya bisa juga sekalian beli makanan dan minuman ringan untuk dibawa naik ke Kawah Putih karena di atas sana tidak ada warung jualan lagi.

Kami langsung menuju ke loket tiket. Tampaknya belum buka. Ada beberapa orang yang sedang menunggu. Ga sampai 15 menit, seorang petugas masuk ke pos tiket. Kami langsung mengantri. Harga tiket yang harus dibayar per orang : Tiket masuk 25K, naik ontang-anting 18K, biaya penitipan helm 5K (helm harus dititipin, gaboleh enggak) dan parkir motor 5K. Hampir 50K per orang. Mantaaap (elus-elus dompet).


Setelah membayar tiket untuk 4 orang, kami menuju jalur antrian naik ontang-anting. Cara naik ontang-anting sama kayak naik bus di Taman Safari. Pengunjung mengantri di lajur yang sudah disediakan. Ada satu ontang-anting yang sudah terparkir. Ketika penuh, maka ontang-anting di belakangnya maju untuk mengangkut penumpang selanjutnya.

Pengunjung yang membawa mobil pribadi punya pilihan untuk naik ontang-anting or not ke atasnya. Konsekuensinya, bayarnya lebih mahal. Menurut artikel yang saya baca, per mobil harus membayar 150K untuk parkir di dekat kawah. Hm, mending naik ontang-anting sekalian deh. Buat pengalaman juga sih sekalian ngebantu perekonomian masyarakat lokal yang mencari nafkah lewat ontang-anting ini. Yekan?

Ontang-anting yang artinya mondar-mandir (kalo bahasa Jawa-nya, kulu kilir wkwk)
Perjalanan menggunakan ontang-anting dari parkiran masuk hingga ke kawah memakan waktu sekitar 15 menit (5 kilometer). Treknya lumayan sih, tapi ga ngeri-ngeri amat. Jalannya sudah diaspal tapi bergejolak. Alhamdulillah ontang-anting ini semacam angkot yang udah dimodif. Kalo naik angkot biasa, udah mabok kali. Ontang-anting yang membuat kami sampai terpontang-panting. Wkwk.




Ada beberapa fasilitas yang tersedia di area parkir atas, tapi tidak selengkap di bawah. Pagi itu ketika sampai, ada banyak mobil pribadi terparkir di sana. Kayaknya lagi ada acara lembaga atau perusahaan.

Kami bergegas turun dari ontang-anting. Bocah-bocah langsung jalan duluan meninggalkan saya. Saya berhenti di depan peta situasi area Kawah Putih. Membaca situasi dan kemungkinan tempat yang bisa didatangi. Menurut saya, kalo pengen jadi traveler atau pengunjung yang melek informasi, penting untuk kita membaca peta atau petunjuk yang biasanya diletakkan di dekat pintu masuk. Kelihatannya sepele, tapi berguna banget lho. Selain mendapat gambaran tempat wisata secara umum, kamu juga bisa nambah pengetahuan yang mungkin bisa kamu bagikan untuk orang yang memerlukan. Yay or nay?



Dari tempat pemberhentian ontang-anting ke lokasi Kawah Putih cuma sekitar 5 menit berjalan kaki, tapi bisa setengah jam kalo dikit-dikit cekrek! Mulai dari situ, banyak yang menawarkan masker. Karena kami sudah bawa masker sendiri, aman (ternyata pas sampai di bawah dekat dengan kawah, ga masalah ga pake masker). Tapi untuk yang punya gangguan kesehatan, tidak ada salahnya memakai masker demi keselamatan. Untuk lansia atau yang gak sanggup dekat-dekat langsung sama kawahnya (takutnya kumat bengek atau asmanya dan lain-lain) bisa menuju area pandang yang disediakan untuk lansia.


Papan himbauan yang harus dibaca baik-baik oleh pengunjung
Kawasan wisata Kawah Putih mulai dibuka untuk umum pada tahun 1987 (setahun sebelum saya lahir ke dunia, woohoo). Pastinya ada beberapa pertimbangan dari mulai lokasi ini ditemukan sampai baru berpuluh tahun kemudian dibuka untuk umum. Yang utama pastinya, alasan keselamatan. Kalo kamu udah pernah main ke Kawah Ijen di Banyuwangi, ya bisa dibilang Kawah Putih ini 'adeknya' deh.

Kalo mau lihat Kawah Putih dari atas, tempat yang harus kita tuju adalah Sunan Ibu. Karena waktu kami terbatas saat itu, ya udah deh main di dekat danau kawahnya aja. Tempatnya memang eksotis bin mistis, ya. Banyak pohon-pohon mati di sekitarnya yang malah jadi daya tarik tersendiri. Oiya menurut sumber yang saya baca, dulunya Kawah Putih ini pernah dijadikan tempat penambangan belerang. Gatau deh ya, sampai saat ini masih beroperasi apa enggak penambangannya. Hari itu sih saya ga lihat sama sekali ada aktifitas penambangan. Wallahu 'alam.



Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pengunjung dihimbau untuk berada di sekitaran kawah selama 15 menit saja, tidak berlama-lama. Lah kami? Malah lesehan di pinggir danau sambil makan bekal nasi yang kami bawa (piknik wanna be). Bahkan abis makan, cuci tangannya di danau kawah (setelah itu seharian tangan bau belerang ga ilang-ilang wkwk).


Kawasan Kawah Putih yang kini sangat ramai oleh pengunjung ini pernah punya cerita mistis lho...
Bayangin deh misalnya gini : Ada sebuah sumur di dekat rumah kamu yang katanya orang 'angker'. Kenapa dibilang angker? Karena tiap ada yang berusaha untuk ngegali sumur itu, ga lama kemudian orangnya meninggal. Duh, lelembut macam apa yang bersemayam dan gasuka sama penggali sumur. Ternyata oh ternyata, penyebabnya adalah kandungan gas monoksida yang ada di dasar sumur!

Gitu juga cerita Kawah Putih ini, gaes. Awalnya orang-orang pada parno. Tiap ada burung yang melintas di atas area Kawah Putih yang merupakan bekas letusan Gunung Patuha, mati semua. Nih mesti ada apa-apanya nih, pikir penduduk setempat. Pikiran parno itu berlangsung terus sampai akhirnya ada seorang ahli iklim asal Jerman yang meneliti kawasan tersebut. Kemudian, jreng jreng! Taulah kalo sebabnya adalah kandungan belerang yang berada di danau kawah bekas letusan Gunung Patuha.

Betapa tingginya posisi 'ilmu' dalam agama kita. Ilmu sebelum amal. Dengan ilmu, Allah angkat derajat kita lebih tinggi. Hal-hal yang dianggap mistis, tabu dan lain-lain jika dibalut dengan ilmu pengetahuan, maka akan terang perihalnya, jelas sejelasnya. Perhatikan lagi sekitar, masih ada ga keyakinan 'syubhat' semacam itu yang kita percaya? Tidak ada peristiwa sekecil apapun di dunia ini bahkan daun yang disapu sama seorang nenek di halamannya, melainkan Allah tahu, melainkan sudah tertulis di lauhul mahfudz.

Berilmu itu keren, kawan!


Nita yang sabarnya ga ketulungan. Dia yang bawa makanan dari rumah (Banjarnegara). Dia yang bawa makanan ke Kawah Putih di tasnya. Dia juga yang nyiapin makanan sampe benar-benar terhidang di depan kami. Luarrr biasa.


Hari itu Kawah Putih sedang cerah-cerahnya. Perpaduan antara langit biru dengan tebing-tebing hijau dan warna tosca danau membuat kami ingin berlama-lama rasanya. Tapi sayangnya, kami harus segera pulang. Jam 11 kurang kami sudah berada di penginapan lagi. Saatnya beres-beres karena jam 12 harus check-out dari penginapan. Perjalanan siang hari  dari Ciwidey menuju Bandung sungguh membuat dua driver andalanque, Ade dan Irul, mengantuk. Saya ngeri juga nih dibonceng sama orang ngantuk. Ketar-ketir di belakang. Ya Allah berikanlah Irul kesabaran dan kesadaran. Jangan sampe terlena. Apalagi jalurnya lumayan berkelok-kelok. Bisa tambah ngantuk. Sebelum kesadaran Ade dan Irul benar-benar hilang, kami mampir rehat di Indomaret daerah Soreang. Beli minuman kopi, biar melek.

Perjalanan dari daerah Soreang menuju Bandung kota sempat terhambat di daerah pusat kain gitu (lupak apa nama daerahnya). Muacet parahhh. Maju selangkah, berhenti, maju lagi berhenti lagi, gitu terus sampe Syahrini sama Reino Barack sah (eh, bukannya udah ya?!). Target kami, sebelum maghrib sudah harus sampai di Lembang. Soalnya, jalanan menuju NFBS Lembang serem cuy! Lewat hutan-hutan gada lampu gitu.

Menjelang Ashar kami sampai di daerah Dago. Sebelum cus ke Lembang, mampir untuk shalat dan rehat dulu di Masjid Salman ITB yang tersohor seantero nusantara (whoahaha). Di depan masjid, ada banyak pedagang makanan dan minuman ringan. Yuk kita jajan. Sambil nunggu waktu shalat, Irul meet up sama senior organisasi di Malang yang lanjut studi di ITB. Qadarullah, ternyata sore itu akan diadakan kajian dengan narasumber Kang Arif Rahman Lubis, kenal ga?

Maksud hati pengen ikut kajian sampe selesai, apa daya jam sudah menunjukkan pukul 4 lewat. Kami segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan kembali menuju Lembang. Jalur Dago - Lembang lumayan curam. Kita akan melalui beberapa tanjakan yang bikin deg-degan. Tapi memang lebih cepet sih. Alhamdulillah, kurang lebih setengah jam kemudian kami sampai di asrama NFBS. Irul, Nita, Ade udah gasabar mau ketemu dua bocah shalih shalihah (eh, apa mau ketemu kasur yak?).

Masjid Salman ITB

0 komentar:

Posting Komentar