Kamis, 13 September 2018

Pergi ke Timur (9): Perjalanan Pulang via Bima dan Lombok


Seminggu lebih kami berada di kampung orang. Uang semakin menipis, muka tambah porong alias item eksotik. Sebetah-betahnya kamu tinggal di suatu tempat, suatu saat kamu harus kembali ke asalmu. Sama kayak perumpamaan kita hidup di dunia ini; Mau kayak mana cintanya kita sama dunia, suatu saat kita harus kembali "pulang".

...pulang, selalu adalah kata seram yang membayangiku.
Diantara mimpi buruk yang paling menakutkan bagiku, seringkali adalah mimpi tentang musafir yang terpaksa pulang. Pulang, bagaikan merobohkan istana pasir yang selama ini dibangun dengan susah payah, lalu lenyap tak berbekas disapu ombak [Titik Nol, p. 529]

Perjalananku bukan perjalananmu, tapi perjalananku adalah perjalananmu. Masing-masing kita punya kisah Safarnama sendiri-sendiri, tapi hakikat semua Safarnama itu adalah sama.
Perjalanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang adalah jalan yang memang harus dilalui semua pejalan. Dari titik nol kita berangkat, kepada titik nol kita kembali. Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang. [Titik Nol, p.530-531]

Sabtu (19/5/2018) pagi-pagi kami sudah berkemas, bersiap untuk check-out penginapan. Setelah ini langsung menuju pelabuhan untuk membeli tiket menyeberang ke Bima. Kami menuju bagian pelabuhan dimana kapal-kapal kecil berlabuh. Sepi banget. Masih belum dibuka loketnya. Ini bener ga sih belinya di sini? Kok jam segini masih belum ada orang? Qadarullah, ketemu Bang John yang kemarin menyewakan kapalnya untuk sailing. Dengan ramah beliau menyapa kami dan kami bilang mau pulang. Kami sekalian tanya, kalo beli tiket untuk nyebrang ke Bima dimana.

"Mbak bukan sebelah sini kalo mau beli tiket ferry", sambil membawakan satu tentengan kami dan berjalan cepat ke arah pelabuhan tempat kapal besar bersandar. Kami mengikuti dari belakang.

"Kalo yang di sana tadi untuk beli tiket PELNI".

Ooo. Kami gatau.

Ya Allah. Selalu ada pertolongan-pertolongan dari-Nya untuk para pejalan. Ga kebayang kalo kami ketinggalan kapal nyebrang ke Bima. Harus nunggu KMP Cakalang besok pagi lagi dan berarti hangus sudah tiket pesawat yang kami pesan; harus keluar uang lagi. Belum lagi terkait izin di tempat kerja.


Bang John baik banget. Kami diantar bukan hanya sampai loket pembelian tiket, tapi sampai di dalam kapal, sampai benar-benar mendapatkan tempat duduk. Ga perlu diraguin lagi deh baiknya orang-orang Timur. Selepas berpamitan dan mengucapkan terimakasih pada Bang John, langsung saya ambil kasur busa yang sudah disediakan. Ini ga gratis lho ya, bayar lagi 10K. Penumpang di dalam ruang VIP ini tidak terlalu ramai; Ada seorang bule duduk tepat di belakang kami. Ia tempak mengobrol akrab dengan seorang bapak yang pergi bersama anaknya. Kepo jugak apa yang mereka bicarain.

"Semoga lagunya Ebiet lagi, biar enak tidur"

"Ish..."

Sebelum kapal melepas jangkar, saya keluar untuk melihat kota kecil di ujung Pulau Flores ini. Akankah ini menjadi yang pertama dan terakhir, atau yang pertama untuk kemudian kembali lagi dan lagi? Wallahu 'alam. Yang pasti, pengalaman menjejak kota ini dan menyaksikan langsung semua hal indah yang ada di sini harusnya menjadikan diri ini semakin bersyukur; Jangan pernah ragukan ke-Maha Hebat-an Allah dalam menjawab keinginan kita. Bukan Allah yang tidak mengabulkan, tapi kitanya yang kurang yakin. Bukankah Allah menjawab sesuai dengan persangkaan hamba-Nya?! 

Bye, Labuan Bajo. Insyaallah pada hari yang Allah tentukan saya kembali lagi, mari kita jelajahimu lebih dalam dan lebih jauh.


Perjalanan laut saat pulang ini masih lebih baik dibanding saat berangkat. Efek minum obat anti mabuk, jadinya tidur sepanjang perjalanan. Kami berdua masih belum bisa puasa, jadinya masih bisa sembunyi-sembunyi ngisi tenaga (baca: minum). Alhamdulillah tanpa ada kendala, KMP Cakalang merapat di Pelabuhan Sape sesuai jadwal. Dibanding Pelabuhan Pototano, pelabuhan ini jauh lebih semrawut. Kotor. Tipikal orang Bima yang 'keras', membuat pelabuhan ini lebih ramai dengan suara-suara. Kami keluar dari kapal dan berniat mencari bus menuju Kota Bima. Eh masyaallah, ketemu abang sopir bus Bima - Sape yang tiga hari lalu membawa kami ke pelabuhan ini. Kami langsung saja mengikuti dia dari belakang menuju bus. Dalam perjalanan dan bertemu orang-orang, kepercayaan dapat tumbuh dalam sekejap. Ada beberapa bus yang sudah menunggu penumpang turun dari KMP Cakalang. Sepertinya pekerjaan sopir bus ini memang sudah "terjadwal rapi" sedemikian rupa. Pagi hari berangkat dari Terminal Dara menuju Sape; Sorenya menjemput penumpang dari Sape menuju Bima. Kalo sudah merasakan langsung rute Bima - Sape, sebenarnya pekerjaan mereka tidak "sesederhana" itu. Bayangkan harus mengebut di jalanan sempit yang berkelok-kelok, membelah perbukitan, mengantar nyawa orang lain. Saya yang cuma jadi penumpangnya aja lelah membayangkannya.

Kami naik ke dalam bus, kemudian memilih tempat duduk terbaik (baca: tidak bikin mual). Sedang fokus pada sekitar tiba-tiba ada yang nyolek saya dari belakang,

"Mbak minta tolong ambilkan plastik itu dong", sambil menunjuk ke atas di bagian depan dekat kemudi sopir.

Saya kira Orang Bima dan sekitarnya  setrong-setrong karena 'kuat' berkendara di jalur yang aduhai. Ternyata oh ternyata, terbongkar sudah semua ini hanya dengan satu colekan yang menyadarkan saya; Banyak korban bermabukan. Sudah disediakan plastik di bagian depan dan belakang bus untuk mengantisipasi kemabukan. Karena lebih prepare, Alhamdulillah kami berdua sehat-sehat aja sepanjang bus membawa kami menuju Kota Bima. Lelap dalam buaian bus.


Menjelang sore kami sampai di Terminal Dara. Karena jalurnya menurun, perjalanan dari Sape ke Bima kami lewati kurang lebih sekitar 1,5 jam. Di terminal, kami bertanya pada seorang petugas dimana letak Hotel Favorit, tempat dimana kami akan menginap malam ini. Sekalian sambil tanya transportasi menuju bandara Bima besok. Kelihatan sekali bagaimana pedulinya bapak petugas itu menjelaskan dengan detail ini dan itu hal-hal yang kami tanyakan.

Hotel Favorit terletak di samping terminal pas. Kami direkomendasikan hotel ini oleh Mbak Juh yang keluarganya memang sering pergi ke Bima dan menginap di sini kalau kemalaman. Hotel ini memang bisa dikatakan favorit bagi pejalan yang kemalaman dan butuh tempat transit sekitar terminal. Harganya standar; bisa dikatakan paling murah (125K per malam) dengan fasilitas 2 bed kecil, fan dan kamar mandi dalam (plus ratusan nyamuk haus darah wkwk!). Ada tivinya juga lho. Letaknya sangat strategis, hanya berjalan kaki kurang dari 5 menit dari terminal. Di sekitarnya juga kita bisa temui toko-toko maupun warung makan. Setelah rehat sebentar, menjelang maghrib saya dan Tika keluar penginapan untuk membeli makan. Kami jajan takjil dan makan Bakso Solo di dekat terminal. Harganya Alhamdulillah sudah lebih ramah kantong jika dibandingkan dengan di Labuan Bajo.

Besoknya, Minggu (20/5/2018) perjalanan pulang jilid 2 dimulai. Jadwal pesawat kami dari Bandara Bima, Sultan M. Salahuddin tertera pukul 11.20 menuju Lombok. Dari terminal, kami naik bus yang menuju Dompu. Bayar 10K per orang. Dilihat di Maps, jarak dari terminal ke bandara tidak terlalu jauh, kurang lebih 20 menit berkendara. Tapi entah kenapa, bus Rajawali yang membawa kami ini sungguh menguji kesabaran. Nungguin emak-emak yang abis jualan di pasar. Lamaaa banget.

Pas lagi nunggu bus kami jalan, ngeliat sebuah bus yang baru datang langsung dikerubungi oleh calo. See, lebih banyakan calo dibanding penumpang yang turun -_-

Setelah lama nunggu ibu-ibu, ada lagi masalah pada bus kami. Ban busnya kempes dan harus isi angin dulu. Aduh, ga kebayang kalo tadi kami perginya mepet, bisa-bisa ketinggalan pesawat kayak gini nih. Perjalanan yang harusnya hanya sekitar 20-30 menit, molor menjadi satu jam lebih. Sampai di bandara, kami berkeliling sebentar. Gak ada yang bisa diliat lebih lama, sepi banget bandaranya. Bandara Bima ini hanya bandara kecil yang melayani rute pesawat baling-baling atau ATR menuju beberapa kota seperti Lombok dan Makassar. Eh dari Juanda juga ada lho penerbangan kesini, transit dulu tapi di Lombok (paling murah 600 ribuan).


Pesawat NAM Air membawa kami melintasi Pulau Sumbawa menuju Pulau Lombok. Perjalanan yang kami tempuh lewat darat beberapa hari lalu yang menghabiskan waktu kurang lebih 15 jam, dengan kemajuan teknologi ini hanya berjarak 40 menit. Pengalaman pertama naik pesawat baling-baling nih. Pesawat ini berkapasitas ga sampe 100 orang. Karena ukurannya lebih kecil, goncangan ketika pesawat bertabrakan dengan awan lebih kerasa. Deg deg serrr rasanya jantung!


Jam 12 siang kami sampai di BIL. Penerbangan kami ke Surabaya kurang lebih jam 6 sore nanti. Niatnya, mau cari oleh-oleh dulu dan beli Nasi Balap Puyung Rinjani yang waktu itu enak sekali kami makan. Awalnya banyak rencana kami; dari mulai minjam atau sewa motor bapak petugas toilet yang waktu malam-malam itu menolong kami atau pinjam motor petugas parkir yang ramah, kemudian jalan-jalan membeli oleh-oleh. Pertimbangan ini itu, akhirnya saya coba-coba memesan GrabCar. Eh ternyata ada. Jarak dari BIL ke tujuan kami, tempat oleh-oleh terdekat, biayanya 18K potongan 5K jadinya cuma bayar 13K. Karena harga oleh-oleh yang dekat bandara muahal-muahal dua kali lipat, sopir Grab menawari kami untuk diantar ke Mataram atau Senggigi. Setelah dicek, biayanya 100K lebih. Wuiih ga jadi daah. Mahal kali. Oiya Grab di sekitar bandara ini ga banyak. Rata-rata sopirnya pun orang lokal. Grab belum terlalu "diterima" di sini. Batal pergi ke Mataram membuat kami terdampar dan terkapar di masjid bandara pada akhirnya. Lumayan, bisa numpang tidur dan mandi sore.

Pesawat Lombok - Surabaya yang membawa kami mendarat kurang lebih jam 9 malam di Bandara Juanda. Kami langsung cari travel menuju Malang, dapat harga 90K per orang. Entahlah, udah ga kerasa lagi perjalanan darat ini saking capeknya. Tau-tau udah sampe mana. Kurang lebih jam 1 malam, sampe di kost tercinta dan terindu. Perjalanan panjang sabtu pagi yang berakhir di minggu tengah malam.

Alhamdulillahiladzi bini'matihi tathimushalihaaat :)


Alhamdulillah ya Allah atas perjalanan ini. Begitu banyak hal yang sangat kami syukuri; Kalo udah ke Labuan Bajo, besok-besok kamu bakal sangat bersyukur ketemu jus yang harga 5K (di LB paling murah 15K, bro!). Merasakan kebaikan hati dibalik fisik yang mungkin terlihat 'mengerikan'. Merasakan kebaikan hati orang-orang yang berbeda suku, agama. Kebaikan hati dari orang-orang yang baru pertama kali berjumpa. Dan masih banyak lagi hal keren yang kami dapat: makanan khas; bangunan tua bersejarah; para ranger dengan pekerjaan yang tidak biasa; ombak ganas Laut Flores; sengatan matahari Bukit Mereseq; es degan tanpa gula di Bukit Nipah; Sembalun dan semua hal indah yang meliputinya!

Perjalanan panjang yang bukan hanya membutuhkan biaya yang banyak, tapi juga rasa saling pengertian yang tinggi.


Terimakasih untuk teman terbaik perjalanan Lombok - Labuan Bajo ini, Tika Sari anaknya Pak Rois. Bermalam-malam di perjalanan BIL - Mataram. Berlelah-lelah puluhan kilometer di boncengan motor Mataram - Sembalun - Mataram. Berpanas-panas di deretan pantai Lombok Tengah. Berguncang-guncang dalam bus melintas Pulau Lombok - Sumbawa menuju Bima. Beririt-irit hidup di Labuan Bajo. Berdebar-debar antara hidup dan tenggelam di atas gulungan ombak bertubi-tubi laut Flores. Berseri-seri menjejak eksostisme Taman Nasional Komodo dan gugusan pulau indah di sekitarnya. Bersabar-sabar melalui perjalanan pulang yang panjang (Labuan Bajo - Bima - Lombok - Surabaya - Malang). Dan akhirnya, bermanis-manis mengingati tiap detail momen yang terjadi selama perjalanan 10 hari kita di sana. Sooo, are you ready for the next adventure?!

0 komentar:

Posting Komentar