Selasa, 04 September 2018

Enjoy Jakarta : Dari Asian Games Sampe Lihat Wajah Baru Kali Besar di Kota Tua


Tepat pukul 15.00 lewat 15 menit, Kereta Matarmaja yang membawa kami berdua pulang menuju kota tercinta, Malang, berangkat. Dua hari menjadi 'pejuang kaki' di ibukota, menyisakan kram dan pegal pada sekujur badan, terlebih kaki. Semoga lelah yang berfaedah, yang tidak hanya meninggalkan kesakitan di fisik, tapi juga meninggalkan banyak hikmah atau pengalaman di jiwa.

Riuh terdengar suara-suara di gerbong ini; mereka yang akan memulai kembali masa studinya di salah satu sudut kota di Jawa Timur, atau nada excited mereka yang akan menghabiskan liburan mengunjungi tempat-tempat wisata kekinian di Malang; atau wajah harap-harap cemas namun bahagia para pecinta alam yang akan menuju salah satu puncak tertinggi Indonesia (Semeru).

Kereta Matarmaja menjadi teman setia para pelajar atau mahasiswa Malang yang ingin menunaikan rindu pada keluarga tercinta di Jabodetabek sana. Mulai beroperasi pada tahun  1983, istilah Matarmaja merupakan singkatan dari kota-kota yang dilalui yaitu Malang, Blitar, Madiun, Jakarta. Baru tau ya? Sama!


Hanya tinggal menunggu waktu sampai akhirnya kami tepar tertidur dalam perjalanan panjang ini.  Dalam lelah, mengingati "perjalanan panjang yang pendek"- yang kami lalui, bermula dari siang itu di hari Jum'at (24/08/2018)...

Sebelum menuju pintu masuk keberangkatan, saya dan Tika menuju salah satu bagian depan Stasiun Malang untuk menitipkan motor (menginap). 15K untuk tiga kali dua puluh empat jam. Tepat pukul 11.45, Kereta Jayabaya yang kami naiki berangkat. Perjalanannya menuju Jakarta lebih cepat dibanding Matarmaja, sekitar 13 jam. Kereta ini melewati rute pantura seperti Lamongan, Bojonegoro, Tuban dan sebagainya. Terlambat setengah jam, pukul 2.00 malam kereta tiba di perhentian terakhir, Stasiun Pasar Senen. Jakarta adalah kota yang tidak pernah tidur, the city that never sleep. Tidak terlalu sulit kami mendapatkan transportasi online untuk mengantar ke tujuan kami yaitu Thamrin Residence. Sampe sana udah disambut adek kontrakan paling unyu, si Ade alias Abul.

"Wah parah banget si Mbak bikin aku gabisa tidur dari tadi wkwk". Welcome to Jekardah.

Dasar si Ade, udah menjelang jam 4 subuh juga masih aja ngajakin ngobrol. Walhasil, sedikit kesiangan untuk pergi ke Gelora Bung Karno. Matahari udah naik lumayan tinggi. Ternyata kece badai juga nih sunrise di antara gedung tinggi di Jakarta. Ga kalah sama di pantai atau gunung. Kami berada di lantai 37 Apartemen Thamrin Residence. Wih beneran deh ya, dari dulu yang bikin saya kagum sama Jakarta adalah gedung-gedung pencakar langitnya yang menjulang tinggi seperti mau menyentuh langit (apakabar Burj Khalifa?)


Semingguan sebelumnya, kita udah sepakat untuk beli tiket Asian Games via online di Kiostix.com. Gampang-gampang susah karena web-nya sempet trouble. Dapet deh 3 tiket Asian Games cabor atletik. Sebenernya, Ade pengen liat berkuda atau panahan dan badminton. "Kenapa Mbak pengen liat atletik?", Ade tanya. Simple jawabnya: pengen masuk GBK ajah. Pengen liat megahnya stadion terbesar kebanggaan Indonesia yang dibangun dalam rangka menyambut Asian Games yang diadakan di Jakarta pada tahun 1962 lalu itu tuh. Whuiii.

Nonton Asian Games 2018 di Gelora Bung Karno (GBK)
Ada beberapa temen yang geleng-geleng kepala; Jauh-jauh ke Jakarta cuma mau liat Asian Games doang? Kayak gada kerjaan. Jangan diliat 'kurang kerjaannya', tapi liat deh pengalamannya. Event 4 tahunan sekali yang qadarullah, tahun 2018 ini Indonesia jadi tuan rumahnya. Terakhir kali Indonesia jadi tuan rumah tahun 1962. Udah 50 tahunan yang lalu banget. Asian Games ini event olahraga terbesar kedua setelah olimpiade, lho. So, mumpung Allah kasih kesempatan waktu dan rizqi, berangkatlah. Juga kelak di masa depan pengen ngomong gini sama my kids...

"Ummi dulu nonton Asian Games 2018 di Jakarta". Langsung.

Jam 7 pagi kami masih di apartemen, padahal jadwal atletik jam 6 pagi. Kira-kira masih boleh masuk gak ya kalo telat? Siap-siap kurang lebih sejam, kemudian kami pesan transportasi online biar ga ribet dan langsung sampe tempatnya. Sambil nunggu, eh masih sempetnya melipir liat kolam renang di apartemen (hoorang kaya).


Kami naik Grab dari Thamres ke GBK. Bayar pake OVO, sangat bermanfaat tapi ga keliatan bentuknya. e-money. Mudahnya hiduup. Tapi kadang saya mikir deh, pernah baca kalo salah satu ciri negara maju adalah negara dengan transportasi publik yang baik. Kalo kita mudah banget naik transportasi online sekarang ini, mungkin lama-kelamaan jadi males naik transportasi publik dong (semoga engga). Terus juga mikir, kalo semakin banyak kendaraan di jalan, semakin tinggi tingkat polusi yang kita berikan pada bumi tercinta ini. Kemudahan ini, akankah menghilangkan kemanusiaan kita?

Abaikan pikiran saya (!)

Sampe GBK, kami bingung nih masuk lewat gate mana. Akhirnya brenti aja sampe ketemunya loket masuk. Volunteer yang bertugas langsung men-scan barcode tiket pesanan kami kemudian kami diperbolehkan masuk melalui security gate. Oleh seorang relawan, kami diarahkan untuk menunggu TransJakarta di shelter bus dekat sana untuk menuju venue atletik. Akan ada bus Transjakarta yang stand by mengantar-jemput penumpang dari satu shelter ke shelter lainnya menuju venue cabor yang dipertandingkan di kompleks GBK. Jaraknya kalo jalan kaki lumayan sih. Belum lagi ngadepin panas teriknya Jakarta yang bikin burket *iiih.


Asik menikmati 'perjalanan' di dalam kawasan GBK. Berdesakan dalam satu suhu; mendukung perjuangan para atlet demi kebanggaan bangsa. Ada yang turun untuk liat tenis, juga panahan. Kemudian lewat JCC dan Istora Senayan. Lah, busnya udah mau balik ke tempat awal kami naik tapi kok ga ketemu-ketemu sama pintu masuk atletik. Usut punya usut, sebenernya dari tempat kami masuk awal banget tadi ke venue atletik ga perlu naik Tije. Langsung jalan kaki aja nyampe. Baiklaaah. *pensive


Begitu sampai di bagian depan stadion utama GBK, langsung disambut sama api Asian Games yang membara gagah di atas kaldron. Kaldron apaan sih? Itu tuh, semacam kuali besar tempat untuk memasak makanan dan minuman di zaman tembaga dan zaman besi duluuu. Zaman now, kaldron biasanya dipake di upacara pembukaan olahraga untuk menyalakan api simbol dimulainya sebuah ajang olahraga. Kaldron yang ada di depan GBK ini sengaja dibangun demi menyambut Asian Games 2018 lho. Dinding kaldron dan motifnya tersusun dari lempeng tembaga. Kaldron ini kalo diliat miring, berbentuk bilah keris yang melambangkan keindahan, keragaman dan kebudayaan nusantara. Nama kaldronnya, Bilah Nusantara.

Fyi, api yang dinyalakan sebagai simbol Asian Games ini dibawa langsung dari India sono, negara pertama tempat diselenggarakannya Asian Games. Di India, api diserahkan oleh Mary Kom (salah satu petinju wanita terkenal dunia asal India *ada film tentang doi lho) dan diterima oleh legenda bulutangkis wanita Indonesia, Susi Susanti. Dari India, api yang dijaga agar tidak pernah padam ini "terbang" menuju Yogyakarta untuk disatukan dengan api abadi dari Gunung Merapi, kemudian baru diarak melewati beberapa kota di Indonesia.


Ada banyak volunteer atau relawan dalam ajang dunia bergengsi ini. Kurang lebih untuk di Jakarta, sekitar 17 ribu orang. Woow! Mereka ini berada dimana-mana untuk membantu siapa saja. Ngeliat orang bingung dikit, langsung disamperin dah. Pagi ini adalah kejuaraan atletik hari pertama. Ngarep liat Zohri sih, tapi kalo gak ada juga ya ga papa dah. Sebenernya kalo boleh jujur, ga terlalu paham aturan main atletik tu gimana. Lebih familiar banget sama badminton -_- yang penting masuk GBK!

Pagi menjelang siang itu yang dipertandingkan adalah Decathlon Men 400 M. Siapapun atletnya, dari negara manapun, ketika dia berhasil melompati rintangan pada cabang lompat tinggi, kami bersorak. Terlebih ketika ada atlet dari Indonesia, makin kencanglah yel-yel IN-DO-NE-SIA!!! diteriakkan.

Dari pengeras suara terdengar, "selamat datang kami ucapkan kepada Bapak Wakil Presiden yang sudah berada di tengah-tengah kita saat ini untuk menyaksikan langsung pertandingan atletik". Jauh banget ga keliatan di tribun VVIP sana -__-


Pas cabor lari 100 meter men dan gada wakil Indonesia,

"Mbak dukung yang mana?"

"Yang nomer 3 itulah, yang kulitnya paling item"

"Kenapa?"

"Iya, setahu saya, orang-orang kulit hitam macam Kenya, Zimbabwe, Jamaika, Ghana dan sebangsanya gitu larinya kuat-kuat banget. Mereka sering banget menang di kejuaraan dunia atletik".


Dari Kompasiana...
[Adrian Bejan, seorang Profesor Teknik Duke University mengatakan orang kulit hitam cenderung memiliki kaki dengan lingkaran lebih kecil, yang berarti pusat gravitasi mereka lebih tinggi dibandingkan dengan kulit putih dalam ukuran tinggi yang sama. Asia dan kulit putih cenderung memiliki torso lebih lama, sehingga pusat gravitasi mereka lebih rendah. Tinggi pusat gravitasi seseorang mempengaruhi seberapa cepat kakinya bergerak ketika mereka menyentuh tanah. Jadi kaki orang dengan pusat gravitasi yang lebih tinggi akan menyentuh tanah lebih cepat dibandingkan dengan orang dengan pusat gravitasi yang lebih rendah].

Nonton langsung di tempatnya gini jadi banyak nyadar; Untuk jadi sebuah tayangan atau berita yang baik di layar kaca dan media massa, ada begitu banyak pihak yang terlibat. Yang jadi perhatian kita hanya 'aktor utama'. Kerja-kerja yang 'kelihatan remeh' seakan terlupakan begitu saja. Selain memperhatikan para atlet yang berlomba, saya juga fokus pada para juru foto dan panitia yang sibuk dengan tetek bengek ini itu. Ekspresi penonton juga tidak luput dari bidikan kamera. Cekrek!


Kami berbaur dengan penonton lain; Ada yang jauh-jauh mendukung datang dari negaranya (kami sempat terpana dengan beberapa pengunjung dari Korsel yang memunguti sampah sebelum pergi, huhu maluu); Ada yang datang menonton membawa keluarganya, best quality time. Ada guru yang membawa puluhan muridnya untuk menunjukkan langsung pelajaran olahraga yang selama ini hanya dipraktikkan sederhana di lapangan sekolah; Ada yang datang rame-rame bareng temen untuk jadi suporter garis keras; Ada juga yang ga ngerti aturan main cabor yang dipertandingkan yang penting nonton langsung di GBK *ituaaakuuu.

Semoga semangat Asian Games 'Energy of Asia' bisa kami bawa pulang. Stop deh mempolitisir olahraga biar enak menikmatinya. Mari jadikan momen Asian Games ini untuk 'bersatu' dibawah satu naungan bendera Merah Putih. Mari menjadi tuan rumah yang memuliakan tamunya. Bhin-bhin, Atung, Kaka, Bhineka Tunggal Ika. Berbeda namun satu.


Sebelum pulang, kami keliling dulu liat Asian Fest yang diadain di beberapa pintu utama Stadion GBK. Asian Fest ini selain berisi bazaar puluhan tenant juga diisi hiburan yang menampilkan beberapa artis ibukota. Masuk GBK untuk ke Asian Fest aja bayar per orang 10K. Pas mau nyari merchandise Asian Games, langsung shock liat antriannya yang mengular puanjang banget. Enggak deh. Gabiasa akutuh *huek. Heran aja, kenapa penjualan merchandise-nya mesti terpusat di satu tempat gitu? Kenapa ga disebar di beberapa zona Asian Fest aja jadinya khan ga sampe hampir 1 kilometer gitu antriannya. Ampun deh. Pulang ajah menuju destinasi selanjutnya.

Berkunjung ke Gedung Perpustakaan Tertinggi di Dunia
Dari GBK kami menuju Jalan Merdeka Selatan, ke lokasi sebuah tempat yang ga asing banget untuk seorang pustakawan. Apa itu? Yup, perpustakaan. Dari awal sudah saya agendakan, bahwa main kami ke Jakarta harus pula mengandung 'manfaat'. Jadilah mengunjungi Perpustakaan Nasional masuk ke dalam list to do. Gedung perpustakaan yang pada hari kunjung perpustakaan (14 September 2017) lalu diresmikan oleh presiden ini merupakan yang tertinggi di dunia lho. Tingginya mencapai 126, 3 meter, mengalahkan yang sebelumnya yaitu perpustakaan di Shanghai, China (106 meter).

Zaman internet gini, kalo perpus ga ngikutin apa maunya dan apa butuhnya pemustaka, ya siap aja ditinggalin. In my opinion, pembangunan gedung perpustakaan dengan segala fasilitas yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh warga negara ini adalah bentuk meningkatkan layanan dalam rangka menunaikan hak-hak warga negara atas informasi *ngomongapasih.

Jujur saya pribadi suka ngiri sama negara maju kayak Amerika, Aussie, England, Finland, yang tingkat kunjungan masyarakat ke public library-nya tinggi banget. Kita di Indonesia, sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, gimana minat baca kita? Hmm, cuma 0,01 persen (data tahun 2016). Bandingkan dengan negara-negara Eropa atau Amerika yang mencapai 25-27 persen. Padahal sesungguhnya tradisi Islam tidak lepas dari membaca dan menulis.


Jadi minder sendiri deh kalo tau gimana hebatnya para ulama begitu memanfaatkan waktunya untuk membaca. Ada seorang ulama yang bahkan ketika beliau berada di WC, meminta anaknya untuk membacakan buku dari luar dan dia di dalam mendengarkannya (saya juga gitu dulu sih, suka baca buku di WC, hehe).  Perkataan Ibnu Al-Jauzi dalam masterpiece-nya yaitu Shaid Al-Khatir ini layak juga kita simak, “Aku tidak pernah kenyang membaca buku. Jika menemukan buku yang belum pernah aku lihat, maka seolah-olah aku mendapatkan harta karun. Aku pernah melihat katalog buku-buku wakaf di madrasah An-Nidhamiyyah yang terdiri dari 6.000 jilid buku. Aku juga melihat katalog buku Abu Hanifah, Al-Humaidi, Abdul Wahhab bin Nashir dan terakhir Abu Muhammad bin Khassyab. Aku pernah membaca semua buku tersebut serta buku lainnya. Sampai sekarang aku terus mencari ilmu". Kemudian, mempraktikkan apa yang pernah dikatakan Ibnu al-Jauzi masih di buku masterpiece-nya, Shaid al-Khatir, “Sebaiknya kamu mempunyai tempat yang khusus di rumahmu untuk menyendiri. Di sana kamu bisa membaca lembaran-lembaran bukumu, dan menikmati indahnya petualangan pikiranmu".
Sumber : blognya Mas Ridho

Mukjizat yang Allah turunkan pada umat akhir zaman inipun harusnya membuat kita berpikir; kok Allah nurunin sebuah "buku" ya untuk kita? Padahal teknologi semakin maju, bahkan sekarang kita bisa menjangkau luar angkasa, membuat bom nuklir, transportasi super cepat, dan ribuan penemuan inovatif lainnya. Dulu, Nabi Isa diberi mukjizat tongkat yang bisa berubah menjadi ular; menghidupkan orang mati. Nabi Nuh, diberikan kemampuan untuk membuat bahtera super besar yang menyelamatkan dari banjir bandang, dan sebagainya. Setiap nabi dan rasul diberikan mukjizat yang sesuai dengan keadaan umatnya. Kita, umat akhir zaman, bisa dibilang umat literasi, maka dari itu diwariskanlah sebuah 'buku', yang bukan sekedar buku. Al-Qur'an. IQRA! Bacalah... Membacalah... Wallahu 'alam.

Setelah menitipkan tas, kami menuju lantai 4, ke kantin Perpusnas. Si Ade udah ga tahan dari pagi belum sarapan. Udah ga menarik apapun yang ada di hadapan kalo perut belum keisi. Padahal, kami bisa langsung ke lantai 2 untuk buat kartu anggota. Kalo udah punya kartu anggota ini, bebas deh memanfaatkan semua layanan yang ada di Perpusnas. Bikinnya gratis tis. Ga pake nunggu lama. Gampang banget caranya: input data mandiri di komputer yang udah disediain, terus pemotretan, tunggu sebentar jadi deh. Bentuknya kayak KTP gitu kartunya kalo udah jadi.


Institusi perpustakaan adalah salah satu institusi yang mengawal peradaban manusia. Dan pustakawan, kalo pernah baca tuh ya, adalah salah satu profesi paling tua di dunia. Dari zaman duluu banget udah ada. Fyi, Perpustakaan paling tua di dunia adalah perpustakaan Al-Qarawiyyin yang ada di Maroko. Tempat ini menurut UNESCO adalah perpustakaan tertua di dunia yang masih berjalan sejak dibuka. Terletak di bekas ibu kota Maroko, Fez, Al Qarawiyyin adalah rumah bagi beberapa manuskrip paling langka dan unik di dunia, dan selama ini hanya bisa diakses oleh kurator dalam beberapa kasus istimewa. Pada 2016 pengurus lembaga ini membangun laboratorium untuk melindungi dan mengubah 4.000 manuskrip klasik dan penting mereka ke bentuk digital. (tirto.id)

Gara-gara ga cocok sama menu di kantin, Ade ngajak Tika ke bawah ke kafe yang ada di lantai 1. Kafe di lobby Perpusnas ni asik. Selain nyaman untuk makan, nyaman juga buat ngerjain tugas. Ada beberapa majalah dan bacaan nyantai yang juga nemenin kita makan. Isi perut, isi otak. Sambil makan Tika tanya,
"berarti perpustakaan ini lengkap ya?"
"Gada istilah perpustakaan paling lengkap. Tiap perpus punya kekuatan koleksinya masing-masing. Misal dalam skala kecil aja, perpustakaan kampus UIN punya banyak koleksi tentang keagamaan, sementara misalnya Binus, punya koleksi lengkap tentang ekonomi, manajemen dan sebagainya. Saling melengkapi dah intinya", kata saya sok tau.

Dari kafe di lobby lantai 1 kami menuju lantai 6 untuk shalat di mushola Perpusnas. Nyaman nih musholanya; lumayan luas dan bersih. Kamar mandi dan tempat wudhunya juga oke. Sip dah kalo sebuah tempat udah ada mushola dan tempat makannya, dijamin betah.


Selesai shalat, 30 menit menuju jam tutup layanan, kami langsung menuju ke lantai 24 yang merupakan lantai tertinggi dan terdapat executive lounge. Selain itu, terdapat juga layanan Koleksi Budaya Nusantara yang melayankan koleksi-koleksi kebudayaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Ada beberapa lukisan dan visual yang dipajang di lounge-nya. Ada juga satu sudut dimana dipajang buku-buku tentang presiden Indonesia dari yang pertama sampai yang sekarang. Di lantai paling atas ini pemustaka bisa keluar ke balkonnya dan melihat Monas dan bangunan-bangunan lainnya dengan jelas. Cakep banget.


Di lantai paling atas Perpusnas juga tersedia banyak tempat duduk empuk yang bisa kita buat nyantai *awasketiduran. Selain itu, kebutuhan mendesak kaum milenial bisa kita temui disini #colokan. WiFi Perpusnas juga kenceeng banget. Mantap. Passwordnya: smartlibrary. Gapapa ya dikasih tau, hak seluruh warga negara wkwk.

"We are a beeper generation in a smartphone world" - Jen Lancaster

Salah satu pe-er besar perpus umum yang ada di Indonesia adalah mengubah mindset orang pergi ke perpus tuh kayak pergi ke mall atau tempat nyenengin lainnya. Mengubah pikiran orang-orang kalo denger kata perpus: dari belajar, something hard, menjadi have fun, something fun to do. Saya pernah baca, di Taiwan, perpustakaan umumnya menyediakan semacam music player atau movie player. Gimana gak betah tuh?

Tampak beberapa pemustaka sedang serius belajar atau sekedar menikmati sore dari lantai paling atas Perpusnas

Tampak dua pemustaka tepar kelelahan gara-gara kebanyakan jalan dan makan

Entah karena kekenyangan atau kecapekan, Ade keliatan "damai" banget di salah satu sofa. Damainya Ade adalah matanya yang terpejam alias tidur. Selalu senang mempertemukan seseorang dengan sudut favoritnya di perpustakaan. Walaupun tukang ngeluyur gini, jiwa librarian saya masih tinggi juga lho. Mungkin bisa deh kapan-kapan bikin open trip wisata literasi, siapa mau?


Jam 4 tepat terdengar pengumuman bahwa perpustakaan sudah menutup layanannya. Saya membangunkan Ade mengajak turun. Yaah, sayang banget. Padahal masih banyak lantai yang belum kami datangi dan kami manfaatkan layanannya. So guys, kalo ke Jakarta sekalian agendain untuk visit Perpustakaan Nasional ya. Jangan males jangan minder karena perpustakaan ini terbuka lebar untuk seluruh masyarakat Indonesia. Mau kamu mahasiswa, direktur perusahaan, pekerja kantoran, tukang kain, tukang asongan, sok atuuh masuk aja.

"Keren nih. Aku bakal sering kesini kalo weekend", kata Ade.

Main Ke Monas Liat Video Mapping dan Air Mancur Menari
Jam 5 sore, pak satpam Perpusnas keliling untuk mempersilahkan para pengunjung yang masih berada di area Perpusnas untuk keluar (bahasa halus dari: ngusir). Kami jalan kaki menuju Monas. Awalnya mau naik bus City Tour yang haltenya deket pintu masuk Monas, tapi ga datang-datang, keburu sore. Kami langsung menuju pusat kuliner untuk mencari sesuap jajan. Kini pedagang sudah terpusat di sini, tidak bisa sembarangan berjualan di dalam area Monas. Plus minus sih. Di satu sisi, kawasan Monas menjadi lebih tertib. Di sisi lain, kita harus jalan jauh untuk sekedar beli makanan atau minuman. Baru kali ini mendapati Monas seramai sore ini. Ribuan masyarakat memadati, baik yang memang sudah rutin, atau baru pertama kali datang dan ingin mengabadikan momen di sini. Belum afdhol ke Jakarta kalo belum foto bekgronnya Monas.


Mumpung di Jakarta, menyempatkan diri silaturahim dengan adik tersayang yang lagi lanjut studi di Jakarta (May your life always blessed by Allah, Esy Andriyani).

Setelah ketemu Esy dan bercanda haha hihi, mulailah drama nyari toilet. Tak tahan lagi. Sayang  banget deh, untuk area seluas Monas, tidak banyak tersedia toilet di titik-titik keramaian (biasanya ada mobil toilet tapi malam itu kami ga liat sama sekali). Mau shalat juga nyari musholanya kebingungan. Saya mau beli air minum? antri di vending machine sampe setengah jam lebih! Giliran udah depan mesinnya, eh mesinnya trouble -_-


Lupakan urusan toilet dan nyari minum yang bikin lelah. Saatnya fokus ke video mapping yang bentar lagi tayang, yeay! Video mapping, laser show dan air mancur menari adalah event yang dipersembahkan oleh Pemprov DKI Jakarta dalam rangka memeriahkan Asian Games 2018. Acara ini berlangsung selama periode 16 Agustus - 2 September 2018. Tema yang diangkat dalam video mapping Monas adalah "Dari Jakarta untuk Asia". Tiap sesi berlangsung dalam durasi 25 menit dengan 3 segmen tema dan diiringi oleh digital surround sound system yang atraktif. Gratisss gaesss. Update paling baru, pertunjukan di Monas ini udah dinikmati kurang lebih 300 ribu pengunjung lho.

Belum ada info lebih lanjut nih ya, setelah gelaran Asian Games kelar apa video mapping ini bakal masih ditayangin lagi. Mungkin kalo animo masyarakat untuk menyaksikan tinggi, bakal diadain rutin. Tentunya dengan tema yang lebih variatif lagi. Keren pisan!


Di Jakarta mah suka ga sadar sama jam malam. Udah hampir jam 8 dan kami masih 'kelayapan' di Monas. Saatnya berpisah dengan Esy. Kami naik Grab ke halte Grogol, sementara Esy nyari halte terdekat untuk naik Tije. Rumah Ade lumayan jauh dari Monas. Setelah naik Grab, masih harus lanjut naik Tije. Belum lagi jalan ke halte terdekat dan menyusuri feeder busway yang udah kayak naik turun bukit *lebay.

Pas naik Tije dari Grogol 2 menuju halte Sumur Bor (halte terdekat ke rumah Ade), Tika lemes. Telah habis sudah, tenaga ini, tak lagi tersisa untuk berdiri... Ada seorang mbak yang menawarkan minyak angin. Yakin deh, dibalik wajah pekat individualisme warga Jakarta, masih banyak orang yang peduli. Kata Ade, kita itu bakal nemuin atau ditemuin orang yang kayak kita juga (ciyee). Intinya, the more you give the more you get. Dunia akan kembali dengan wajah yang kita berikan padanya *ehem.

Turun dari Tije, masih naik Grab lagi ke rumah Ade. Okefix tenaga habis. Ada warung nasi uduk enak deket rumah Ade. Kami mampir kesana dulu buat balas dendam ngisi tenaga yang udah dihambur-hamburin sepanjang perjalanan sampe malem ini. Beli pecel lele plus es jeruk dan es teh. Tika yang tadi udah hampir pingsan di Tije, Alhamdulillah udah bisa ketawa lagi dan menikmati kol gorengnya wkwk.

Sampe rumah Ade sekitar jam 11 malem. Satu hari penuh perjuangan berlalu. Ade pake smart watch yang bisa buat ngukur langkah, dan tercatat langkahnya hari itu kurleb 13.000 langkah. We o We. Kalo hari biasanya sih cuma sekitar 2000-3000 langkah katanya. Alamak.

Panas-panasan di Kota Tua Sambil Liat #KaliBesarKini
Menurut saya, belum beneran temenan kalo belum nginep di rumah temen kita dan ketemu sama keluarganya. Dimuliakan oleh Ade dan keluarga sebagai tamu, hanya doa tulus yang bisa kami panjatkan untuk keberkahan Ade sekeluarga *amieeen. Minggu pagi (26/8/2018) kami berencana untuk berkunjung ke Kota Tua. Karena mau langsung ke stasiun siang harinya, kami langsung pamitan sama mamah dan ayuknya Ade (bye Fathan cute!). Dari rumah Ade di daerah Pegadungan Jakarta Barat, kami naik TransJakarta menuju Kota Tua transit di Halte Harmoni. Sebenernya sabtu minggu gratis naik Tije, tapi tetep harus nempel kartunya untuk masuk. Ada dua mbak-mbak yang mau masuk, lalu Tika mendekat #modus
"Mbak, ini khan masih gratis ya. Boleh pinjam kartunya untuk lewat?"

"Iya ini pake aja".

Tuh. Masih banyak orang baik di Jakarta.

Sampai di Halte Kota, kami jalan kaki melewati terowongan penyeberangan orang menuju ke arah Museum Mandiri. Sekilas melihat anak-anak seusia SD atau SMP awal; Agak miris. Style-nya sudah sangat jauh melampaui usianya. Dulu, usia sekalian itu saya masih mainan di kali sambil nyuci sepeda, kids (solilokui).

Kawasan Kota Tua paling pas dinikmati dengan berjalan kaki. Sambil ngobrol, sambil menyusuri satu per satu bangunan dan museum-museumnya yang bersejarah. Waktu yang paling pas untuk menikmati kawasan ini? Pagi hari atau sore menjelang malam. Siang bisa sih, tapi harus siap dengan segala amunisi tabir surya. Panasnya ga ketulungan!



Bukan hanya berwisata sejarah, di kawasan Kota Tua kita juga bisa sekalian kulineran. Ada beberapa kafe atau tempat makan di sekitar kawasan ini yang tetap mempertahankan 'ketuaannya'. Awalnya kami mau masuk ke Museum Sejarah untuk menapaktilas ibukota di masa lalu. Demi melihat antriannya yang lumayan panjang, sudah deh mengundurkan diri. Pergi ke depan Museum Fatahillah juga ramenya bikin males. Ada yang foto-foto, lebih banyak lagi yang main sepeda warna-warni yang disewakan di area sekitar situ. Kalo apes bisa ketabrak sepeda yang dikemudikan sembarangan sama bocah-bocah.

Di depan Museum Fatahillah dengan banyaknya photo boom!

Terik matahari dan crowded-nya orang-orang adalah perpaduan yang pas untuk jelekkin mood #saya. Dari depan Museum Fatahillah saya ajak Tika menelusuri kawasan Kali Besar yang sudah direvitalisasi dan dibuka secara resmi oleh (mantan terindah) Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno sekitar dua bulan lalu. Setelah direnovasi, perbaikan dan penambahan sarana prasarana, kawasan Kali Besar kini ga kalah sama kota-kota besar Eropa. Coba deh buka IG terus cari hastag #kalibesarkini, niscaya kamu bakal susah bedain mana Jakarta mana Venice (Italy) *woohoo.

Kawasan Kali Besar kini

Infrastruktur hanyalah infrastruktur; Gedung, bangunan, prasarana, yang memudahkan manusia untuk beraktifitas, memperoleh kesenangan, dan rupa-rupa aktifitas sosial lainnya. Mahakarya buatan manusia. Itu sangat penting, namun bukan segalanya. Kadang digunakan oleh "pecinta dunia" untuk berbangga-bangga, padahal sekali Allah berkehendak untuk memporak-porandakannya, maka tidak akan tersisa setitikpun kesombongan itu dihadap-Nya. Wallahu 'alam.


Pengalaman berkali-kali ke Jakarta selalu dipenuhi dengan ke-hectic-an, buru-buru, dikejar waktu dan keriuhan lainnya. Pengen rasanya sekali-kali 'menikmati' kota ini seperti city branding-nya, ENJOY JAKARTA. Ibukota tidak selalu sekejam ibu tiri. Ada kalanya ia berubah bagaikan ibu peri yang memberikan janji-janji manis kehidupan dan penghidupan yang lebih baik. Sayonara, Jakarta. Semoga menjadi kota yang semakin maju, bahagia sejahtera warganya dan diberkahi Allah selalu ^_^

2 komentar:

  1. Enjoy, suka sekali sama pemandangannya, Teh. Terlebih itu pemandangan mataharinya. Duh, paling suka dengan pemandangan seperti itu.

    Dan itu tuh, pengen banget bisa ke perpustakaanya. Kayaknya memang bagus ya menikmati pemandangan sore dari ketinggian perpustaan. Setelah lelahnya membaca terus melihat pemandangan yang begitu indah.

    Jadi pengen sesekali dalam sehari ngabisin waktu untuk explore Jekartah, seru sepertinya ya..

    Entah udah pernah kesini atau belum.
    Salam kenal, Teh..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga Mas... Sok atuh didatangi! Jakarta bukan hanya tentang macet atau banjir aja kok. Masih banyak tempat yang bisa dieksplor sembari refreshing :)

      Hapus