Senin, 13 Agustus 2018

Pergi ke Timur (7): Menyambut Ramadan Pertama di Labuan Bajo


...mencari kebahagiaan itu bagaikan ikan muda yang mencari laut. Dia telah berenang dari samudera ke samudera, pantai, pesisir, selat, sampai laguna-tapi dimana laut? Dia terus mencari, tak juga ketemu. Ikan yang bijaksana menegurnya, memberitahunya bahwa dia sudah berada di laut. Si ikan muda protes: ini bukan laut! Ini cuma air! Dia lalu meneruskan perjalanan pencariannya, mencari dan terus mencari... [Agustinus Wibowo, Titik Nol]

Mungkin pembaca sekalian bertanya-tanya, kenapa saya pengen banget ke Labuan Bajo? Apa istimewanya kota kecil ini? Khan masih banyak tempat-tempat bagus lainnya di Indonesia; Raja Ampat, Kepulauan Togean, Derawan, Sabang, Karimun Jawa, dan sebagainya. Sampe-sampe saya bertekad dalam hati, "pokoknya jangan keluar negeri dulu sebelum ke Komodo (Labuan Bajo)". So, why? Buat saya, namanya wanderlust atau keinginan untuk menjelajah itu bukan sesuatu yang mudah untuk dijelaskan *tsaah. Tiba-tiba aja abis baca novel apa atau abis liat foto dimana, "okefix aku mau kesitu". Nah lho. Itu racun banget dah kalo udah blog walking ke blog orang yang isinya perjalanan kesana-sini. Apalagi kalo nemu kemungkinan-kemungkinan untuk bisa datang ke tempat itu dengan biaya murah (dan selalu ada kemungkinan itu). Oke, kapan kita kemana?

Tbh, keinginan untuk mendatangi Labuan Bajo bermula dari blog walking banyak artikel tentang kunjungan kesana. Sama kayak tahun 2016 lalu pas ke Kenawa dan Desa Mantar di Sumbawa. Labuan Bajo itu semacam tempat wajib kunjung buat para travel blogger yang saya ikutin. Ada lagi satu yang bikin tambah mantep pengen kesana; salah seorang tokoh inspiratif dan keren banget lah pokonya orangnya. Beliau ini beberapa tahun lamanya tinggal di Belanda bersama anak dan istrinya. Lalu kemudian kembali 'pulang' ke Indonesia dan apa yang beliau lakukan pertama sampai di sini? Liburan bareng keluarganya ke Labuan Bajo dan beberapa tempat keren lainnya di Flores. Wih.
***

Setelah dua hari sebelumnya melalui perjalanan panjang yang cukup membuat kami 'jelek', pagi ini Kamis (17/5/2018) saya dan Tika keluar dari penginapan menuju  pelabuhan untuk mencari langsung kapal sailing trip ke Pulau Komodo dan sekitarnya. Hari yang cerah, masya Allah. Baru terlihat nih, the real Labuan Bajo di depan mata. Sepanjang jalan utama dipenuhi agen-agen perjalanan menuju Taman Nasional Komodo dan sekitarnya. Berderet pula operator selam dan penginapan mulai dari level backpacker hingga high class.


Labuan Bajo sedang 'berbenah' saat kami datang. Pembangunan trotoar di sepanjang jalan utama mau tidak mau sedikit merubah wajah kota kecil ini. Ruwet. But, pembangunan trotoar ini penting menurut saya, karena kebanyakan bule yang datang khan emang suka jalan kaki (mungkin nantinya biar kayak di Bali). Oiya, letak pelabuhan dimana kapal-kapal sailing menambatkan sauh, tidak jauh dari Hotel Mutiara tempat kami menginap. Sekitar 5 - 10 menit jalan kaki, sudah sampai.

Malam hari sebelumnya saya sudah cari info di internet dan sempat chatting dengan beberapa vendor penyedia jasa open trip. Dapat harga paling murah, 2 juta per kapal. Bayar segitu cuma untuk kapal doang seharian (pagi sampe sore atau malam). Artinya, semua kami tanggung; Mulai dari makan, dokumentasi, tiket masuk tempat wisata dan sebagainya. Lha, sama aja daah. Ada lagi yang harga 2,3 juta tapi live on board, nginep terombang-ambing di atas kapal. Ga masalah sih sebenernya, tapi bakalan nabrak jadwal pulang (karena kami udah beli tiket pesawat PP). Okedeh. Coba cari 'peruntungan' dengan nyari langsung ke pelabuhan. Ga jaminan juga sih bakalan dapet yang murah dan sesuai tujuan awal. Tapi siapa tahu bisa nego sama nelayan atau share cost sama yang lagi nyari barengan trip. Khan lumayan.

(...misalnya kamu pengen juga ke Labuan Bajo terus nyari-nyari info dan dapat harga 2,5 atau dibawahnya, itu udah murah dan sesuai banget kok. Semakin mahal, semakin bagus kapal dan fasilitasnya semakin lengkap: makan, dokumentasi, kapal kabin atau dek, fan atau AC, dll).


Pas lagi tanya sama beberapa orang yang sedang duduk-duduk di sekitar pelabuhan, pas ada salah seorang pemilik perahu melintas. Bang John namanya. Tampilannya sedikit seram sih, hehe. Abaikan. Tidak berlama-lama, kami nego dan akhirnya sepakat pada harga 2 juta per kapal untuk sailing trip dari pagi sampai sore. Kami akan diantar ke 4 destinasi dan ditanggung makan. Kalo cuma sailing satu hari gabisa datengin semua tempat-tempat keren di area Taman Nasional Komodo, jadi harus benar-benar dibicarain sama pemilik kapal tujuan kamu mau kemana aja. Perhatiin juga jarak antar satu destinasi dengan destinasi yang lain. Misal kamu mau ke Padar abis tu langsung ke Pulau Kelor, wha kasian perahunya bolak-balik jauh banget. Lebih baik nurut aja saran pemilik kapal, tapi boleh nego juga sih jangan pasrah-pasrah amat mau dibawa kemana.

After deal, kami memberikan uang 200K sebagai depe. Kok percaya sih? iyalah. Insyaallah penduduk Labuan Bajo udah darwis semua alias sadar wisata. Melakukan kecurangan atau hal-hal memalukan lainnya sesungguhnya akan berdampak buruk pada geliat pariwisata di sana dan tentunya pada perekonomian mereka. Sebelum berpisah (ciye), kami bertukar nomor hape dengan Bang John. Urusan kapal untuk sailing, insyaallah beres. Sebelum pulang kembali ke penginapan, kami keliling pelabuhan untuk melihat-lihat sebentar. Banyak perahu bersandar, mulai dari bentuknya yang sederhana sampai yang mewah berbentuk phinisi. Dari pelabuhan gini aja udah bagus banget pemandangannya kemana-mana. Pelabuhan Labuan Bajo dibagi dua, ada area untuk kapal-kapal yang berlayar ke Komodo dan area untuk kapal penumpang milik pemerintah.


Keluar dari pelabuhan, eh ada yang lagi nyari kapal juga kayak kami. Yaaah, udah keburu jadi sama Bang John tadi. The lesson is: sebelum cari nelayan, mending cari barengan yang mau nyewa kapal dulu. Fiuh. Balik lagi ke penginapan dan kali ini kamar kami sudah pindah ke kamar standar dengan fasilitas dua bed plus kipas angin dan kamar mandi dalam. Turun derajat, wkwk. Gapapalah, ngirit. Kalo dibilang nyaman, yah agak gerah juga sih walaupun udah ada kipas (soalnya kipasnya gabisa muter kanan kiri). Ukurannya juga sedikit lebih sempit dibanding kamar AC. Setelah Zuhur kami tidur siang sampai menjelang Ashar. Pas bangun, ditanya sama bapaknya, "panas ga Mbak disitu?" Sampeyan pindah aja ke AC. gapapa. Nanti bayar aja sama kayak yang standar". Wiiih! Alhamdulillah. Asiiik. Rizqi pejalan. Kami boyongan lagi ke kamar AC. 

"Kebaikan hati ada dimana-mana. Allah titipkan pada siapa saja. Just, syukuri itu :)


Sore ini kami berencana untuk sedikit keliling Labuan Bajo. Awalnya niat mau ke pasar, Pasar Wae Kesambi, tapi waktunya ga memungkinkan. Jadilah pergi ke bandara yang letaknya tidak terlalu jauh. Kami naik angkot per orang bayar 5K. Ga jauh sebenarnya, cuma medannya nanjak banget. Kalo kamu kuat, jalan kaki gapapa #siapsiapketukangurut. Ga sampai 15 menit kami sampai bandara. Pas bayar, abangnya gamau terima uang receh (hasil bongkar celengan) kami. Gubrak! Padahal Tika udah seneng banget, mengalokasikan puluhan receh yang kami punya untuk ini itu, salah satunya bayar angkot. Dan ternyata ditolak. Sakit, men. Fyi, receh yang kami berikan pecahan 1000 dan 500 lho, apalagi kalo pecahan 100 dan 50; diturunin di jalan lah kami.

Bandara Komodo sepiii banget. Jujur, masih lebih rame di kampung saya. Apa karena udah sore kali ya? Jadi ceritanya main ke bandara ini cuma untuk foto doang di depan tulisan 'Bandara Komodo'. Niat bangettt. Ini nih akibat  gagal beli tiket langsung Surabaya - Labuan Bajo. Walau ga terlalu luas, bandara ini udah masuk kelas internasional lho. Ada beberapa bandara yang melayani langsung penerbangan ke bandara ini antara lain Ngurah Rai, Soekarno - Hatta dan Juanda. Kalo mau transit Kupang atau Lombok dulu juga ada, pinter-pinter nyari di aplikasi travel aja deh. Now everyone can flight to Labuan Bajo.


Depan bandara pas, ada satu toko mungil tempat jualan kerajinan khas Flores. The one and only deh kayaknya. Kami mampir untuk cari kain ikat tenun. Harganya 30K udah ditawar-tawar gabisa turun lagi. Kalo di Lombok mungkin bisa lebih murah. Jadi bisa dibilang, harga kebanyakan barang-barang atau makanan di Flores ini dua kali lipat dari harga di Lombok. Wew. Pas mau bayar, eh beberapa uang receh yang kami selipkan diantara uang kertas ditolak lagi. Segininya deh harga uang receh di Labuan Bajo. Ga berharga. Okedeh ya, mungkin ia berguna kalo pas masuk angin #untukkerokan. Kami balik lagi ke penginapan naik ojek bayar 5K. Ini harga langsung 'nembak' ke abangnya. Kalo ga gitu mungkin aja dimahalin. Suudzhan.

Sepanjang jalan utama di sekitar pelabuhan, ramai orang menjajakan takjil untuk berbuka puasa. Puasa ramadan pertama nih. Kami menyusuri jalan, berniat untuk mencari makan juga (walau ga puasa). Nemu satu lapak dagangan yang kayaknya enak, eeh rame banget. Akhirnya sampe udah mau abis tu lapak-lapak penjual, belum dapat apa-apa. Rame banget si. Ngalah sama yang puasa aja dulu dah. Akhirnya malah kami putuskan untuk berburu sunset. Menurut saya, sunset di Labuan Bajo ini paling keren kalo diliat dari tempat yang tinggi. Kenapa? Biarkan foto yang menjawab. Saya dan Tika berjalan menyusuri pemukiman ke arah bukit yang kami lihat, tidak jauh dari pelabuhan. Dari dekat, terlihat ada sebuah cottage di bukit ini. Karena tidak ada siapa-siapa yang bisa kami mintai izin atau apa, kami masuk saja. Sekitar 30-45 menit kami berada di sana. Cottage-nya keren nih, nuansanya alam banget. Langsung menghadap ke pelabuhan. Tapi kok sepi ya.

And this is how amazing sunset in Labuan Bajo... Damai banget. Apalagi pas momen mataharinya hampir tenggelam, sayup-sayup kedengar murottal dari masjid di dekat pelabuhan. Merinding.


Saat akan turun, ada dua orang (nampaknya pegawai cottage) heran melihat keberadaan kami. Mimik mukanya tampak berkata, "ada kepentingan apa Mbak di sini?".

Dengan wajah tanpa dosa kami hanya nyengir sambil berkata, "maaf Pak, habis lihat sunset".
Alih-alih mengomeli kami karena berada di situ tanpa izin, dengan wajah ramahnya pegawai tersebut bilang, "sebenarnya tidak boleh kesini (tanpa kepentingan)".

"Tadi ada pegawai Roxy Mart (salah satu swalayan besar di sana) yang nyaranin kami pergi kesini. Katanya boleh. Maaf ya Pak", kata saya jujur.

Kami berlalu dengan sedikit rasa malu, hehe. Tidak ada dosa untuk orang tidak tau, dong. Wkwk.


Sekitar habis Isya, kami keluar lagi dari penginapan. Kali ini saya dan Tika berjalan kaki menyusuri trotoar Jalan Soekarno - Hatta menuju Kampung Ujung, pusat kuliner malam di Labuan Bajo. Hanya membawa uang 90K di tangan. Kami melewati sebuah masjid besar dekat pelabuhan dimana sedang dilaksanakan shalat tarawih berjama'ah. Whiii. Jadi baper inget keluarga dan teman di seberang pulau sana. Rame jugak. Sebelum ke Kampung Ujung, kami beli ikan asin di kios dekat pelabuhan seharga 30K. Mahal banget ikan asin doang? Iya, ikan asinnya warnanya cantik pula, tosca. Ikan asin bajo yang cuma ada di sini (katanya). Gada di Jawa.

Sampai di Kampung Ujung, sepi. Rata-rata artikel blog tentang Labuan Bajo yang saya baca merekomendasikan untuk kulineran seafood di Kampung Ujung. Karena malam ramadan pertama, kami pikir memang tutup. Yaudah deh belum rizqi berarti. Tika tanya dengan tukang parkir salah satu swalayan, "O, pindah ke lapangan Mbak. Mbaknya lewat sebelah situ aja", si bapak dengan baik hati menunjukkan kami jalan. We're comiiing!

Dan benar adanya, kuliner malam Kampung Ujung selama bulan puasa pindah ke lapangan di belakang markas TNI dekat pelabuhan. Saat kami datang sudah agak ramai, yang shalat tarawih sudah selesai. Kami menyusuri warung tenda satu-satu, mencari mana yang kira-kira enak (dan murah, pasti). Berhenti di depan salah satu tenda, ada beberapa orang bule yang sedang memilih-milih. Ada ikan, udang dan juga cumi tergeletak tak berdaya di atas meja. Karena banyak bule yang datang kemari, yang jualan juga bisa ngomong English lah sikit-sikit. Keren.

"Mbak, yang paling murah yang mana?", tanya saya. Dalam hati membatin, cantik-cantik banget sih ikannya. Kok kayaknya sayang banget kalo harus berakhir di pembakaran atau wajan.

"Yang ini 35 ribu", tunjuk mbaknya pada salah satu jenis ikan kerapu merah dengan ukuran paling mini.

"Oke Mbak yang itu aja".

Ada beberapa pilihan memasak yang bisa kita request; bisa dibakar, dimasak Saos Padang, asam manis, digoreng dan sebagainya. Harganya sesuai sih, udah termasuk nasi dan lalapan. Satu ikan sedang, bisa buat 3 atau 4 orang. Kuliner Kampung Ujung ini ramai oleh wisatawan (terutama wisman). Saya memperhatikan bule-bule yang datang; rata-rata makan sambil ditemani bir. Mungkin buat mereka, itu kayak minum Sprite atau Fanta kali ya. Hiyyy. Total kami makan habis 55K, sisa 5 ribu doang di kantong. Tutup mata deh untuk jajanan atau apapun yang menggiurkan di sepanjang jalan pulang ke penginapan, huhuu.



Malam ini kami tidur lebih awal. Dari tadi Bang John sudah menghubungi kami mengingatkan sailing trip Komodo besok pagi. Beliau menawarkan untuk dijemput di penginapan juga. Gapapa Bang makasih, insyaallah besok kami jalan aja ke pelabuhan. Deket kok. Udah ga sabar ketemu kamu, iya kamu Komodooo.... *tarikselimut.

4 komentar:

  1. Sebetulnya sayang banget ya ..., spot melihat sunset terbaik berada di cottage, hanya dapat dinikmati yang bermalam disana.
    Seandainya pengunjung umum dibolehin juga berada di areanya, pasti pada senang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe iya Mas. Tapi mungkin untuk alternatif lain, boleh cari bukit yang gada cottage-nya untuk hunting sunrise. Atau ke pelabuhan langsung aja dah yang aman, biar ga diomelin pegawai cottage. Ehe.

      Hapus
  2. Sewa kapalnya bukan 2 jt per orang tapi 2 juta per kapal...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nyonya, udah diralat tuh. Maklumlah, faktor U.

      Hapus