Sabtu, 07 Mei 2016

Selimut Debu : a best-seller book by Agustinus Wibowo


"Pada setiap langkah di negeri ini, debu menyeruak ke rongga mulut, kerongkongan, lubang hidung, kelopak mata. Bulir-bulir debu yang hampa tanpa makna, tetapi menjadi saksi pertumpahan darah bangsa-bangsa, selama ribuan tahun".

"Lembar demi lembar mimpi tentang Afghanistan tercabik dibawa angin gurun". (p. 5)

"Mengapa harus pulang? Rumah sudah menjadi puing. Tak ada roti. Tak ada impian. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali selimut debu, kerumunan orang-orang lapar, kehancuran kebangaan masa lalu". (p. 23)

"Ditengah kecamuk perang dan kemelut ketakutan, kedamaian yang ditawarkan perbukitan hijau yang tenang adalah mimpi indah. Bagi sebagian orang, ini adalah ilusi yang tak terbayangkan di negeri berselimut debu". (p. 179)

"Khaak, debu itulah yang mereka agungkan sebagai watan, kampung halaman. Walaupun gersang dan tandus, kepulan debu itu yang menjadi curahan cinta mereka, dan akan mengubur jasad mereka. Seperti halnya negeri kepulauan kita, tanah dan air yang kita jadikan tumpah darah, khaak Afghanistan akan selalu memanggil semua Afghan kembali pada akarnya". (p. 339)

0 komentar:

Posting Komentar