Selasa, 15 April 2014

Longlife Tarbiyah

(Ini adalah tulisan yang saya buat sekitar tahun 2011. Pada saat itu kami mendapat tugas dari murabbi untuk membuat cerita maupun tulisan bertema "Tarbiyah". Akhirnya saya memilih untuk membuat cerita singkat ini-yang saya rasakan masih banyak kekurangan disana sini-).

Waktu sudah menunjukkan pukul 13.35. Syifa mempercepat langkahnya dan memburu dirinya untuk segera sampai di halaman belakang kampusnya. Tak peduli rok yang dia pakai agak sedikit menghambat langkahnya, ia coba sedikit (tenang saja, hanya sedikit) mengangkat roknya agar langkahnya bisa lebih cepat. Dia tengok kanan-kiri, “Alhamdulillah aman”, pikirnya. Syifa masih terus saja mempercepat langkahnya. Minggu ini sudah kesekian kalinya syifa terlambat menghadiri agenda wajib+rutinnya. Jarak antara Sekret Pencinta Alam dengan belakang kampus siang ini terasa lebih jauh dari biasanya bagi syifa yang terlambat. “oh my God, mau alasan apalagi aku kali ini. Dalam 3 bulan ini, udah berapa kali aja aku telat! Ga enak banget rasanya sama Mbak Huda dan teman-teman”, kata Syifa dalam hatinya.


Akhirnya Syifa sampai juga di halaman belakang kampus. Siang itu belakang kampus terlihat ramai. Banyak mahasiswa yang berkumpul di situ.  Ada yang sedang mengadakan rapat, ada yang sedang duduk bersantai menikmati Oksigen yang dengan sukarela diberikan oleh pepohonan, ada juga yang terlihat menyendiri. Lupakan tentang itu! Kali ini Syifa sibuk mengedarkan pandangannya. Ke kiri, ke kanan, belakang, depan, balik lagi ke kiri, dan aha! “itu sudara-saudaraku!”, teriak Syifa dalam hati, girang. Syifa segera bergegas, hampir sedikit berlari, menghampiri teman-temannya yang sedari tadi menunggu kedatangannya untuk memulai agenda rutin+wajib yang diadakan tiap minggu itu. Dengan hadirnya Syifa, lengkap sudah lingkaran itu terbentuk. Sayup sayup terdengar suara basmallah dilantunkan dan agenda wajib+rutin itupun dimulai. Syifa terlihat sangat menikmatinya. Menikmati semuanya.


Syifa baru 4 bulan ini mengikuti agenda wajib+rutin yang diadakan di halaman belakang kampusnya itu. Agenda wajib+rutin yang seiring dengan berjalannya waktu dia baru tahu namanya adalah Liqo’. Sebelumnya Syifa tak pernah tahu itu. Jangankan Liqo’, agenda tutorial yang pada semester awal diwajibkan di kampusnya saja dia jarang terlihat. Bukan karena Syifa malas hadir atau memilih menghadiri agenda yang lain, sama sekali tidak! Usut punya usut, ternyata pada saat itu Syifa sedang cuti sakit. Jatuh dari ketinggian 300 meter mengharuskan Syifa beristirahat cukup lama di rumah. Maklumlah, gejolak masa muda. Syifa sangat hobi memanjat tebing. Di kampus, Syifa  tercatat sebagai mahasiswi yang aktif di bidang panjat-memanjat dan daki-mendaki. Itulah jiwanya.

Selama 4 bulan mengikuti liqo’, memang belum terlihat perubahan pada diri Syifa. Baik dalam penampilan fisik maupun intonasi suaranya (yang bisa buat telinga orang yang ada di sampingnya bergetar saking kerasnya). Celana dan sandal gunung, t-shirt+jaket, dipadu dengan jilbab kaos sederhana, masih menjadi pakaian kebesarannya sehari-hari. Syifa tak pernah sedikitpun memikirkan persoalan itu. Teman-temannya di kelas sering meledeknya dengan menjulukinya “pemanjat tebing yang Nyantri”. Syifa memang cuek. Tak sedikitpun ledekan dari teman-temannya itu masuk ke telinganya.

Syifa sangat menikmati liqo’nya. Hal itu terlihat dari selalu ada saja pertanyaan yang dia ajukan kepada Mbak Huda, mentor Liqo’nya. Couriousity-nya kepada penciptanya, kepada agamanya, sangat tinggi. Syifa memang bukan mbak-mbak aktivis yang selalu rajin turun ke jalan, meneriakkan keadilan dan kebenaran, mbak-mbak aktivis yang selalu terlihat di masjid kampusnya yang entah itu sedang mengaji maupun mengkaji, Syifa bukan itu. Syifa hanya pemanjat. Hanya itu yang dia senangi. Dan mungkin hanya itu kehidupannya. Tapi rasa ingin tahunya yang luar biasa akan Sang Pencipta, menjadikan Syifa berbeda dengan mahasiswa lainnya. Rasa ingin tahu yang melabuhkan Syifa ke dalam sebuah lingkaran pengetahuan. Lingkaran pengetahuan yang dikomandoi oleh seorang Mbak Huda, “komandan” yang sangat sabar dalam membimbingnya menuju penciptanya. Lingkaran pengetahuan yang diawaki oleh “prajurit-prajurit ukhuwah” yang selalu siap siaga selalu ada ketika Syifa butuh untuk berbagi, menumpahkan kekesalan atau bahkan menyiapkan telinganya untuk memerah mendengarkan suara Syifa yang menggelegar bak petir di siang hari.


Bersama saudara-saudara di “lingkarannya”, Syifa ingin membaikkan kehidupannya. Syifa sedang membangun dalam dirinya bahwa kehidupan adalah tarbiyah itu sendiri. Dia tidak pernah tahu akan sampai kapan dia berada di lingkaran itu, yang dia tahu, waktu hidupnya adalah Longlife Tarbiyah. Tarbiyah yang tak pernah terhenti. Entah itu dalam bentuk lingkaran, dialog, monolog, kajian, pelatihan, seminar, bangku kuliah, Syifa tak pernah peduli. Dia hanya ingin belajar, banyak belajar, dan terus belajar.


0 komentar:

Posting Komentar